Tuesday, April 23, 2013

Drama Bapak, Karya B. Selano

1. Bapak : “Dia putra sulungku. Si anak hilang telah kembali ulang.Dan sebuah usul diajukan segera mengungsi ke aerah penduduk yang serta aman tenteram. Hem ya.. ya, usulnyadapat kumengerti. Karena ia sudah terbiasa bertahuntahunhidup di sana. Dalam sangkar. Jauh dari debuprahara. Bertahun-tahun mata atinya digelapbutakanoleh nina bobok, lelabuai oleh si penjajah. Bertahun-tahunsemangatnya ijinakkan oleh suap roti keju. Celaka. Oo,betapa celakanya.”i bungsu senyum memandang.

2. Bungsu : “Ah, Bapak rupanya lagi ngomong seorang diri.”

3. Bapak : “Ya, Anakku, terkadang orang lebih suka ngomong sendiri.Tapi bukankah tadi engkau bersama bangmu?”

4. Bungsu : “Ya, sehari kami tamasya mengitari seluruh penjuru kota.Sayang sekali kami tidak berhasil menjumpai a.....”

5. Bapak : “Tunanganmu?”

6. Bungsu : “Ah, dia selalu sibuk dengan urusan kemiliteran melulu.Bahkan, ketika kami mendatangi asramanya, ia idak ada.Kata mereka, ia sedang rapat dinas. He heh, seolah seluruh hidupnya tersita untuk urusan-urusan militer saja.”

7. Bapak : “Kita sedang dalam keadaan darurat perang, Nak. Dan dalam keadaan ini bagi seorang prajurit, epentingan negara ada di atas segalanya. Bukan saja seluruh waktunya, bahkan jiwa raganya. Tapi, eh, ana abangmu sekarang?”

8. Bungsu : “Oo, rupanya dia begitu rindu kepada bumi kelahirannya. Seluruh penjuru kota dipotreti semua. Tapi, urasa abang akan segera tiba dan sudahkah Bapak menjawab usul yang diajukannya itu?”

9. Bapak : “Itulah, itulah yang hendak kuputuskan sekarang ini, Nak.”

10. Bungsu : “Nah, itu dia!”Si sulung datang dengan mencangklong pesawat potret mengenakan kata mata hitam. terus duduk melepas kaca mata danmeletakkan pesawat potret di meja.”

11. Sulung : “Huhuh, kota tercintaku ini rupanya sudah berubah wajah dipenuhi baju seragam menyandang senapan. Dipagari lingkaran kawat berduri dan wajahnya kini menjadi garang berhiaskan laras-laras mesin. Tapi, di atas segalanya, kota tercintaku ini masih tetap memperlihatkan kejelitaannya.”

12. Bapak : “Begitulah, Nak, suasana kota yang sedang dikecam keadaan darurat perang.”

13. Sulung : “Ya, pertanda akan hilang keamanan, berganti huru-hara keonaran. Dan mumpung masih keburu waktu, agaimana dengan putusan Bapak atas usulku itu?”

14. Bapak : “Menyesal sekali, Nak...”

15. Sulung : “Bapak menjawab dengan penolakan, bukan?”

16. Bapak : “Ya.”

17. Bungsu : “Jawaban Bapak sangat bijaksana.”

18. Sulung : “Bijaksana? Ya, kaubenar, manisku. Setidak-tidaknya demikianlah anggapanmu karena bukankah secara kebetulan tunanganmu adalah seorang perwira TNI di sini. Tapi maaf, bukan maksudku menyindirmu, adik sayang.”

19. Bungsu : “Ah, tidak mengapa. Kauhanya sedang keletihan. Mengasohlahdulu, ya, Abang. Mengasolah, aubegitu capektampaknya. Bapak, biar aku pergi belanja dulu untukhidangan makan siang anti.”Sibungsu pergi. Si sulung mengantar dengan senyum.

20. Bapak : “Nak, pertimbangan bukanlah karena masa depan adikmu seorang. Juga bukan karena masa depan sisa usiaku.”

21. Sulung : “Hem. Lalu? Karena rumah dan tanah pusaka ini barangkali, ya Bapak.

22. Bapak : “Sesungguhnyalah, Nak. Lebih dari itu.”

Sulung : “Oo, ya? Apa itu ya, Bapak?”

Bapak : “Kemerdekaan.”

Sulung : “Kemerdekaan? Kemerdekaan siapa?”

Bapak : “Bangsa dan bumi pusaka ini.”

Si Sulung tertawa.

Sulung : “Bapak yang baik. Bertahun sudah aku di daerah pendudukan

ana bersama beribu bangsa awak tercinta. Dan aku seperti juga mereka, tidak pernah merasa menjadi

udak belian ataupun tawanan perang. Ketahuilah, Bapak, di sana hidup merdeka.”

Bapak : “Bebaskah kamu menuntut kemerdekaan?”

Sulung : “Hoho, apa mesti dituntut. Kami di sana manusia-manusia merdeka.”

Bapak : “Bagaimana kemerdekaan menurut kau, Nak?”

Sulung : “Hem. Di sana kami punya wali negara, bangsa awak. Di sana, segala lapangan kerja terbuka lebar- ebar bagi bangsa awak. Di sana, bagian terbesar tentara polisi, alat negara bangsa awak. Di atas egalanya, kami di sana hidup dalam damai. Rukun berdampingan antara si putih dan bangsa awak...”

Bapak : “Dan di atas segalanya pula, di sana si Putih menjadi dipertuan. Dan sebuah bendera asing jadi lambang edaulatan, lambang kuasa, penjajahan. Dapatkah itu kauartikan suatu kemerdekaan?”

Sulung : “Baik, baik. Tapi ya, Pak, kita bukan politisi.”

Bapak : “Nak, setiap patriot pada hakikatnya adalah seorang politisi juga. Kendati tidak harus berarti menjadi eorang diplomat, seorang negarawan. Dan justru, karena kesadaran dan pengertian politiknya itulah eorang patriot akan senantiasa membangkang terhadap tiap politik penjajahan.Betapapunmanis bentuk ahirnya. Renungkanlah itu,Nak. Dan marilah kuambil contoh masa lalu. Bukankahdulu semasa kita asih hidup, keluarga dalam suasanaaman tenteram dan masa pensiun yang enak, sudahdengan endirinya berarti hidup dalam kemerdekaan?Tidak Anakku! Kemerdekaan tidak ditentukan oleh emuaitu. Kemerdekaan adalah soal harga diri kebangsaan, soalkehormatan kebangsaan. Ia ditentukan leh kenyataan,apakah suatu bangsa menjadi yang dipertuan mutlakatas bumi pusakanya sendiri atau idak. Ya, anakku, renungkanlah kebenaran ucapan ini. Renungkanlah ......”





0 komentar: