Malam kian kelam. Aku terbaring diatas balai bambu, menerawang menatapi diri
yang makin termakan usia. Tiba-tiba kamar terasa sumpek, panas, dan
beraroma kurang sedap. Desiran angin menembus kamarku hanya membawa kabar
yang sulit diterka.
Aku menangis ketika
kamarku dicabik,cubit atau digilas oleh realita. Kucoba menagabarkan pada orang
sekitar, tetapi mereka hanya menggeleng, meninggalakan tapak tak berbekas.
Kadang mereka menatapku sinis, lalu pergi tanpa ucapan maaf. Mungkin, saatnya
aku harus mengabarkan ini pada ayah, pikirku. Aku bangkit, dan
merapikan kamar.
“Ayah…,” tulisku mengawali surat itu. “Meski kau
akan menangis setelah membaca surat ini, tapi segeralah kau usap air mata itu.
Jangan kau biarkan air mata berurai dipipimu. Aku malu jika Ayah hanya bisa
menangis tanpa suara, dan berbisik tanpa kata. Ayah, anakmu kini sedang dalam
keprihatinan, bertarung dengan masa depan, berlindung di bawah buramnya cahaya
malam.
Cahaya lampu 100 watt yang Ayah belikan dulu,
sepertinya tak mampu memancarkan
suasana baru dalam kamarku. Bahkan, Ayah, kamarku kini pengap disusupi oleh cerobong asap pabrik, udara kendaraan bermotor atau angin penderitaan, yang datangnya dari pinggir trotoar.”
suasana baru dalam kamarku. Bahkan, Ayah, kamarku kini pengap disusupi oleh cerobong asap pabrik, udara kendaraan bermotor atau angin penderitaan, yang datangnya dari pinggir trotoar.”
Aku berhenti menulis
ketika Ratih, istriku, menerobos masuk kamar. Ia pun duduk dan menatapku dalam
diam. Aku hanya melirik ketika ia memunguti dan mengumpulkan kertas-kertas yang
berserakan di lantai kamar. Ratih yang ceria, kini bias karena keadaan. Sapa
mesranya yang dulu menggiurkan setiap lelaki, kini hanya sebatas senyum hambar
yang tak bermakna. Aku sendiri kadang sulit menerjemahkan, gerangan apa yang
sedang dirasakannya.
“Mas Im,” Ratih
membuka kebisuan.
Aku hanya menoleh.
Tubuh semampai itu kuamati dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kubiarkan saja
ketika Ratih duduk merapat dan membaca surat
yang belum sempat selesai kutulis.
“Sebaiknya, Mas Im tak
menulis surat
untuk ayah. Keadaan kamar kontrakan kita yang makin dilalaikan tuan rumahnya,
tak semestinya diketahui ayah. Toh, surat-surat yang sudah terkirim, sampai tak
ada yang dibalas. Mungkin, sekarang ayah lebih sibuk dengan tugas dan
aktivitasnya sendiri, ketimbang memikirkan kondisi kamar kita yang dibanjiri
air mata ini,” katanya.
Aku tercenung mendengar ucapan Ratih. Namun
batinku terus bergolak. “Ratih, tolong simpan kata-katamu,” ucapku coba memberi
pengertian.
Ratih kemudian
memandangku tajam. Ia pun hanya diam saat aku melanjutkan pembicaraan.
“Aku tahu, kesibukan ayah telah banyak menyita kepedulian terhadap kita. Namun, bergantinya struktur desa dan dengan jabatan kepala dusun dipegang ayah, adalah peluang kita mengabarkan, bagaimana naisb kita di kamar ini kelak,” kataku optimis.
“Aku tahu, kesibukan ayah telah banyak menyita kepedulian terhadap kita. Namun, bergantinya struktur desa dan dengan jabatan kepala dusun dipegang ayah, adalah peluang kita mengabarkan, bagaimana naisb kita di kamar ini kelak,” kataku optimis.
“Tapi, Mas,” sergah Ratih pelan. “Aku belum yakin
benar jika surat ini akan mengubah sikap ayah. Sebab, digantinya aparat desa,
belum menjamin kemandirian ayah untuk bersikap. Apalagi, kepergian kita ke
kamar ini sudah di latar belakangi, dengan pertentangan dengan ayah. Sulit
rasanya…”
“Ratih,” potongku tiba-tiba. “Kegetiran masa lalu
membuat kita berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu hari ini. Tapi, masa
lalu membuat kita bijak, meskipun kita kesulitan menerjemahkan kebijaksanaan
itu sendiri. Sebenarnya ayah bukan manusia yang tak pernah memikirkan nasib
anaknya. Tapi, dia telah masuk lingkaran struktural. Jadi apa pun yang
dikerjakannnya, tentu tidak lepas dari kepentingan itu,” kataku.
Batinku terus
bergejolak. Suasana makin menghimpit. Dadaku tersengal sesak ketika tiba-tiba
kepulan asap mengitari sekeliling kamar. Kucoba menghalaunya. Namun aku
tersingkir ke bawah meja. Hanya sobekan kertas dan pena yang sempat kupegang. Besok
atau lusa, surat ini harus segera kukirim pada Ayah, pikirku.
Aku hanya menurut saja, saat Ratih muncul dan
memapahku ke pembaringan. Seberkas kekhawatiran tergambar diwajah Ratih. Isak
tangis Ratih yang selama ini kurindukan tiba-tiba menyeruak ketelinga.
Sebongkah kebahagiaan seketika menyusup dalam kalbuku. Ratih kini telah
menyuarakan penderitaannya yang sekian lama terpendam.
“Ratih, aku tidak apa-apa,” ucapku menenangkan
perasaannya.
Dengan pandangan
sedikit kabut, kutatap wajah Ratih yang lusuh. Namun hanya kepedihan yang
tersemburat di sana.
Dada kiriku terasa sesak, namun kucoba terus bertahan. Ratih memandangiku
dengan kepedihan dalam, dan isak tangisnya menggema keluar ventilasi kamar,
kesetiap telinga tetangga.
“Ratih, berhentilah
kau menangis. Tak perlu mereka tah, kita sedang menderita di kamar ini. Kalau
pun mereka mendengar, itu hanya menambah beban mereka. Sementara nasib mereka
tidak berbeda dengan kita,” kataku meredam gejolak batin Ratih sore itu.
Tangis Ratih pun reda.
Azan Magrib menggema, membangkitkanku dari pembaringan dan Ratih pun mengikuti.
Aku melangkah, lalu
menundukkan diri kehadapan Sang Khalik. Dalam penghambaanku malam itu,
kutuangkan segala doa untuk ayah, pribadi, dan istriku.
“Ya Allah, semoga ayah
kami di kampung terkuak kejernihan pikirannya memandang seluruh isi kamar ini,
demikian desa kami yang sedang dalam genggamannya, serta dalam manapat diri dia
sendiri.”
“Ya Allah,
anugerahkanlah kami khusnul khatimah kepada ayah kami.Taburkanlah rezeki rohani
kedalam ubun-ubunnya, sehingga peran yang diambilnya adalah peran yang
sesungguhnya nyepuhi, bukan fungsi fighter.”
Segala beban batin
kutuangkan di atas sajadah malam ini, semoga hati ayah untuk membalas
surat-surat kami.
0 komentar:
Post a Comment