Tuesday, April 23, 2013

Bola mata yang retak --- Cuplikan Novel Vicky Rosalina


Dipagi yang masih terpejam, aku membuka mata di depan kaca…
Aku melihat…bola mata yang retak…
Tatapku menerawang…
Perlahan tampak bola dunia yang kian retak
Hancur oleh keegoisan
Bumi pertiwi teteskan air mata
Tangisi tangan-tangan yang melipat angkuh tak lagi terulur…
Sesali tapak-tapak tangan tak lagi terbuka…
Seperti saat Lady Di mengulas senyum di tangannya
Seperti Bunda Teresia menyeka air matanya
Ini bukan masalah siapa?, tapi apa?
Apa sebagai suatu tindakan
Apa sebagai suatu kepedulian
Tuhan tidak merencanakan untuk mematikan hati manusia
Tapi manusia merencanakan untuk mematikan hatinya
Demi apa? Sebuah Apa yang hina, sebuah Apa yang sia-sia!
Eram bumi menahan tangis
Terlalu banyak air mata yang tlah keluar hingga mengering
Terlalu banyak darah yang mengucur hingga mongering
Satu tangan…mungkin akan mengulur tangan-tangan yang lain
Ini hanya sebuah mungkin di pagi hari!
Bagi orang yang egois, serakah, yang bangun paling pagi!
Yang menatap bola mata retak di cermin kamar mandi
ketika langit kembali Ungu
Pintu bergetar, namun aku bahkan tak dapat merasakan getaran tubuhku sendiri, aku tak dapat menahan takut, bayangan bila tiba-tiba saja salah satu orang rumah-terutama bunda-terbangun dan menemukan aku mencoba untuk melarikan diri dari rumah. Minggu pagi, langit masih berwarna ungu seungu hatiku, aku berjalan melewati garasi lalu mencoba untuk membuka pagar rumah tanpa mengeluarkan suara yang dapat membangunkan nenekku yang sedang tertidur di kamar depan-kamarku-yang rencananya mau kubersihkan pagi ini. Berhasil! aku sudah selangkah berada diluar rumah, berjalan dengan menghembuskan nafasku yang pertama diluar rumah pagi ini, terlalu pagi, tapi tidak! tidak terlalu pagi bagi anak yang mau lari dari rumah. Aku mulai memuji diriku sendiri sambil berjalan, ha! Tommy Soeharto pun belum tentu bisa melakukan hal yang sama seperti ini! galaknya bunda mengalahkan sipir-sipir yang selama ini menjaga Tommy dengan penuh kasih! Semalaman aku tidak tidur, aku tidak bisa tidur, gila! Otakku berpikir keras bagaimana caranya keluar dari rumah dan melanjutkan rencanaku untuk mencari pekerjaan, setelah dapet duit, aku mau mengganti duit perbaikkan mobil bunda yang aku tabrakkin semalam. Tadi malam….yah…buruk! sumpah aku tidak pernah menyangka bunda akan semarah itu, aku tidak menyangka bunda lebih peduli dengan mobilnya tercinta ketimbang keselamatan anak tunggalnya yang sedang nganggur-menanti pengumuman SPMB. Tamparan bunda yang bertubi-tubi tadi malam sudah tidak terasa lagi bagiku, heh-! dipukulin sih udah biasa! Dan seperti biasa juga aku menghadapi bunda sendirian, papa hanya bilang ”udah…udah…” Ketika tamparan bunda mulai berbunyi kencang seperti bajaj nyusruk ke jurang! kakek mulai turun tangan dan kemudian terjadilah perang keluarga, mungkin perang terbesar- selain tawuran- yang pernah aku lihat secara langsung seumur hidupku. Nggak ada alasan kuat kenapa aku harus-pada akhirnya- memutuskan untuk pergi, bunda nggak ngusir, tapi aku tau dari kata-katanya itu seperti mengusir secara halus, atau aku yang terlalu sensitif?lagi PMS pula! tapi aku berpikir aku sudah dewasa, ini saatnya aku untuk menunjukkan pada bunda bahwa aku bisa bertanggung jawab atas kesalahan yang telah aku perbuat. Aku pikir udah bukan saatnya lagi bagiku untuk diam, menunduk, nangis tiap kali habis melakukan kesalahan, dengan mendengarkan ocehan bunda tiap detik dirumah selama berbulan-bulan. Aku berpikir bagaimana caranya untuk bangkit. Dan bagiku inilah saat yang tepat. And finally…here I am! dengan duit yang tinggal sepuluh ribu dikantongku, aku masih menapakkan kaki di kegelapan subuh. Di depan ada pos penjagaan, ada hansipnya pula! Ah cuek! Ngadepin bunda bisa masa ini nggak bisa?! “Baru pulang apa baru mau berangkat neng?” akhirnya si hansip sok tau itu nanya juga. “Baru mau jalan pak, mau kemping, biasa anak muda! Liburan!” jawabku sekenanya. “oh…pagi bener neng mau kemping dimana emang?sendirian?”. Ah…rese! Jadi panjang deh urusannya! tubuhku masih bergetar nih abis kabur. “Ee…ya iya dong pak pagi! kan mau ke jawa ntar keretanya keburu penuh, pan musim liburan ini! belom lagi saya harus ngumpul di
sekolahan dulu nih, udah ya pak doain aje biar selamet!”. Ok, enough! kasih alasan yang masuk akal langsung tinggal! sambil lalu aku tak mendengarkan lagi celotehnya. Lagian kagak kenal aja sok care! Di hadapanku sebuah jembatan penyebrangan telah menanti dengan penampilannya yang bisa dikatakan lumayan seram-kalo dalam keadaan normal-berhubung aku terlalu gemetaran membayangkan wajah bunda, aku sudah tidak terpikir lagi omongan orang tentang jembatan itu. Maka akupun mulai menapaki anak tangganya satu demi satu sambil baca-bacaan dalam hati. Lumayan ngeri juga sih, apalagi pohon disampingku ini saking gede bayangannya jadi bikin penglihatanku gelap. Ok, berhasil! Aku berjalan melintasi jembatan memandang kebawah, rupanya jalan tol tidak pernah terlelap, buktinya pagi-pagi buta begini orang udah seliweran di tol Bekasi-Jakarta. Aku berpikir apa yang direncanakan orang-orang itu sepagi ini?jalan-jalan?kemping-seperti karanganku ke hansip tadi-?ataukah ada yang bernasib sama sepertiku?lari dari kemarahan bunda?adakah bunda-bunda yang lain yang seperti bunda milikku satu-satunya itu?TIDAK!hah! tuhan menciptakan bunda seperti itu hanya untuk aku. Kenapa?entahlah, udah ah! ngapain lagi mikirin gituan! sekarang problem terbesarku adalah mau kemana sepagi ini?kerumah Dinda?ya, mungkin. Tadi malam Dinda menawarkan diri untuk menerimaku dirumahnya kalau-kalau bunda benar-benar mengusirku. “Ya udah pi…loe mau kemana lagi?ini hari udah malem, mau kabur kemana juga nyokap lo bakal ngeliat tuh ringsek khan?ya terima aja lah…pasti diomelin sih, tapi nyokap lo masa gak ngerti sih orang namanya baru bisa nyetir. Gini aja, kalo lo kenapa-kenapa ntar lo langsung cabut aja kerumah gue, malem ini gue nggak tidur deh!” nasehatnya masuk akal juga, tapi kalau dia lagi menghadapi bundanya orang lain, bukan bundaku tercinta. Pada kenyataannya memang bunda mengerti soal aku yang baru bisa nyetir, tapi soal aku menyetir dalam keadaan mabuk?ntar dulu deh. Setan! Oh Tuhan!kemana aku sekarang?kenapa aku semalam dirumah Ciky mau aja sih diajak minum?perpisahan kelas sih-perpisahan kelas tapi mestinya aku tidak bertindak setolol itu! Goblok dasar! Eh ntar dulu, kenapa aku mesti kerumah Dinda? bukannya dia yang mengajakku minum semalam? Brengsek! pake sok berbaik hati lagi, aku disuruh kerumahnya segala! Tapi…kenapa aku jadi menyalahkannya? Seharusnya aku dong yang punya kendali atas diriku sendiri! Jadi? Aku yang goblok nih Pi? Aduh otakku mulai gak beres nih! Ok,pelan…pelan…! Santai…tarik napas…fiuuhhh! Ok, inget-inget, dideket sini ada rumah…Uwa,nggak makasih! apa gunanya aku kabur?! trus rumah…Titiw? nggak ah bonyoknya rese! trus rumah nya Dinda…?asik sih..tapi adiknya banyak banget, belom lagi nyokapnya rese, terus…Rista? Mmmmhh…boleh deh! Trus ntar siang aku mulai cari kerja di ruko-ruko depan kompleks, kebetulan bunda paling males jalan-jalan ke daerah ruko,’isinya cuman Outlet,rental VCD, ama salon doang! bunda males ah!’kata bunda sewaktu aku mengajaknya jalan-jalan sore, maklumlah bunda lebih senag kalo acara JJS-nya sambil liat-liat toko kue. Siip, keputusan udah aku ambil, sekarang aku mulai berjalan lagi masih diatas jembatan. Aduh tinggi juga ya nih jembatan? Kenapa aku nggak langsung nyebur aja kebawah loncatin pager kawat? Ah, gila apa? Pipi boleh goblok dengan minum-minum semalam, dan nggak usah menambah kegoblokan dengan mengakhiri hidup yang kadang bisa dibawa fun ini. Kemudian ditengah kesunyian jalan yang aku lewati, terdengar jelas adzan Subuh, sholat? Ok, why not?! Sekalian minta ampun atas kegoblokan semalam, and minta bantuan buat survival. Akupun mulai berjalan kearah mesjid gede didaerah situ. Tapi kalo nanti di mesjid ada yang kenal gimana? Ah cuek! bukannya kemajuan bagus kalo seorang pipi mau bangun pagi trus sholat di mesjid? Iya sih…tapi kan masalahnya ini bukan daerahku lagi, dulu aku sempat tinggal di blok ini selama dua tahun, sebelum akhirnya bunda, papa dan aku memutuskan untuk pindah ke blok depan. Pasti nanti aku bertemu dengan tetanggaku yang dulu, lalu mereka akan bertanya kenapa aku bawa gembolan segede monyet, dan yang aneh, didekat rumahku yang sekarang ada banyak banget mesjid, kenapa pake nyebrang segala untuk sholat disini? Alaah…cuek! Namanya orang mau tobat emang harus ijin orang sekomplek dulu? Maka aku pun terus berjalan kearah mesjid. Sesampainya disana, sepi. Bagus! itu tandanya nggak ada yang melihat kehadiranku. Tapi…aduh! Apa-apaan nih?kok tiba-tiba mules? Ah tenang…rupanya dari tadi saking tegangnya aku tidak menyadari panggilan alam. Kamar mandi kosong, so aku bisa sepuasnya make. Aku buang air, cuci muka, lalu wudhu. Ketika memasuki mesjid, bapak-bapak yang sudah mau mulai sholat sempat mengangkat alis, tapi nggak ada tuh pertanyaan-partanyaan konyol yang aku takutkan. Selesai sholat masih pukul 05.15 WIB aku lihat jam di dinding. Masih kepagian untuk gedor-gedor pintu rumah orang. Jadi aku memutuskan untuk istirahat sebentar di mesjid, tadi jalan lumayan jauh juga, gila! Sakin ngerinya ampe nggak kerasa. Rumah Rista deket kok, paling 5-10 menit-an. Aku termenung…pita rekaman kejadian semalam berputar lagi…bunda pergi keondangan sama papa, aku pinjem mobil bilang mau ke perpisahan kelas di rumah Ciky ama Dinda, yang kebetulan ada dirumahku. Nenek sempat melarangku untuk pergi, biasa-lah kasih nenek tiada tara!tapi aku berhasil meyakinkan nenek kalau

aku tidak berniat bermalam seperti seharusnya, selanjutnya…Caow deh! bersama si busuk -Oops-Dinda and mobil kesayangan bunda. Niat banget kerumah Ciky sih nggak, tapi aku pengen banget ngeliat muka Daffy untuk yang terakhir kalinya-maybe-sebelum akhirnya kita semua pencar kuliah dimana-mana. Selama perjalanan ke rumah Ciky ada satu hal yang emang udah mengganggu konsentrasiku nyetir, dinda bilang punya rahasia tentang Daffy. Aku penasaran setengah mampus. Aku tau mereka berdua deket, aku hanya berpikir kedekatan mereka hanya kedekatan antara seorang cowok yang baru dua bulan ini aku sayang -walau nggak banget-, dan seorang sahabatku yang juga deket banget ama tuh cowok. And you know what? Ketika Dinda mulai bercerita,”Pi, lo inget waktu ultah lo tgl 1 bln kemaren?waktu lo ngerayain kecil-kecilan dirumah Daffy?” ya aku inget, tentu sajah!”Iya kenapa?”, “Lo inget gak sih waktu lo ninggalin kita berdua di ruang tengah sementara lo asik-asikan baca di perpusnya?”. Eits, kayaknua mulai ada yang nggak bener nih, santai dulu pi,”Iya, kenapa?”,”aduh pi…tau nggak sih dia tuh coba mau nge-kiss gue! rese banget gak seh?sumpah pi gue takut banget! trus pas ada lo juga, dia tuh ngeraba-raba punggung gue tau gak?semenjak itu gue nggak tau mau gimana, mau cerita ke siapa…gue…”,”Hah! sumpah lo Din?lo kenapa nggak langsung bilang ke gue Din?ya ampun Din sumpah gue nggak pernah kepikiran dia bakal gituin lo, tapi kenapa?kenapa elo Din?dia kan tau lo deket banget ama gue”,”itu juga yang gue nggak ngerti pi, tapi yang jelas, waktu gue cerita ke dia kalo gue pengen banget ngerasain ciuman sama Rama, dia tuh cuman bilang ’ya udah lo bilang aja ke cowok lo itu’ tapi trus gue bilang nggak mau karena gue malu dan tiba-tiba dia nawarin diri ’ya udah kalo emang nggak berani, mau ama gue aja?’and selanjutnya ya yg gue ceritain tadi”. Dan aku langsung pusing, speechless abis, and mikir! Bangsat banget tuh cowok! Gila…selama ini ngomong ke aku tuh kayak orang butuh sembako aja. Selanjutnya, aku mulai nggak beres, aku sempet ngeliat dia pas lagi dirumah Ciky, tapi aku melengos aja, pura-pura bego. And Honestly nih, aku sakit ati juga! Mungkin itu yang bikin aku rada goblok pas diajakin minum. Asep rokok…minum…musik…shit! aku bener-bener gak sadar, dan kenyataannya Daffy nggak negor, dia malah sibuk telepon sana-sini. Mungkin ceweknya sejuta kali! Sama kayak gayanya! And it truly made me feel hurts more than before…and finally I decided to went home early. Biasanya aku tahan semalam suntuk, menikmati malam bersama musik, bukan minuman. Tapi semalem, yang aku lakuin Cuma duduk, minum sambil ngerokok, turun sebentar, minum lagi, lagi, lagi,lagi…pulang and…BOOM! kecelakaan itupun terjadi. And now…aku masih berpikir, tidak, aku bukan berpikir, aku kecewa, yah amat…walau tidak sangat. Ok, I must stop to think about last night, it’s over anyway…toh sampe abis kecelakaan itupun Dinda masih mencoba untuk menghubungi Daffy minta pertolongan, karena tadi malem kita berdua bingung banget mau bawa tuh mobil kemana, and you know what? With cute and nice he only said,’ya bawa aja ke bengkel , panggil petugas tol biar di derek, sory gue nggak bisa nyusul, gue ada acara besok, so gak bisa pulang pagi, urusan begituan khan gak bisa sebentar! ok?bye..’. and finally I know who is he ezaxtly! Aku cukup terlalu tau! Mulai semalam aku menutup buku bahwa cowok yang kukenal selama beberapa tahun ini, yang sempat kukagumi-mungkin masih-hanya ada dalam kehidupanku yang dulu, tidak yang sekarang. Aku merasakan kepalaku masih rada pening, aku mulai berpikir lagi…kerja apa ya? Tunggu! Rere, salah satu teman baikku dari SD pernah menawari aku pekerjaan untuk selama liburan di Pizza Hut, masih ada nggak ya? Kalau begitu kenapa aku nggak kerumahnya aja? Iya tuh boleh juga! Kan nyokapnya single parents. Jadi nggak terlalu ribet donk? bilang aja aku sendirian dirumah, bunda nganter kakek dan nenek pulang ke Bandung. Siip…tinggal nunggu siangan dikit, trus cabut deh! Langit mulai berwarna biru…makhluk pagi mulai mengeluarkan bentuknya. Burung-burung, entah burung apa dan burung siapa, terdengar mulai bergosip ria atau mungkin bernyanyi, entahlah kita tak akan pernah tau apa yang ada di dalam diri seseoarang yang sebenarnya, termasuk Daffy. Aku berjalan lagi, sekarang kearah keluar kompleks. Aku berniat untuk naik koasi yang lewat didekat sini aja, berhubung duit tinggal 10.000! aku menunggu koasi yang lewat di depan sebuah pos, mungkin sudah nggak kepake, abis debunya kayak bedak MARKS. Lima menit berlalu…sepuluh menit…sambil otakku yang tidak berhenti berpikir…tentang nanti..esok..dan tentunya semalam! Tadi malam ketika aku masuk kamar aku mendengar perang itu, kakek mengusulkan supaya aku dimasukkan ke kuliah yang ikatan dinas, tapi bunda bilang sudah terlambat, karena aku nggak mau ikut tes STAN kemarin siang. Males! pikirku, kalo punya otak lumayan sih nggak apa-apa. Bunda dan kakek saling menyalahkan atas perbuatanku, belum lagi nenekku yang kena semprot juga sama bunda. Tuhan..apa hukuman untuk anak yang durhaka? Lalu apa hukuman untuk anak yang durhaka atas contohan orang tuanya sendiri? Aku tidak abis pikir, setiap hari bunda selalu menyuruh aku sholat, dan memang bunda rajin sholat dan ngaji, tapi kenapa kok bisa-bisanya bunda tega memaki nenek didepanku, dan itu sering terjadi bukan hanya tadi malam. Ironisnya, kadang cuma masalah sepele aja yang diributin
sama bunda, tapi sampe keluarin kata-kata kasar ke nenek. Mungkin itu yang membuat nenek begitu perhatian ke aku dibanding ke cucu-cucu yang lain, katanya aku yang paling pendiam tidak seperti bunda. Yah memang, untuk urusan itu aku boleh berbesar hati, karena aku dididik keras oleh bunda, walau aku anak tunggal, nggak ada tuh acara manja-manjaan segala, aku terbiasa dengan membisu, menerima semua omongan bunda, eventhough it’s realy hurts me! Much! Oh…sepuluh menit yang panjang…aku merasakan mukaku mulai panas, aku menunduk, dicelanaku ada tetesan air mata. Aku menangis, padahal pas ditampar sama bunda tadi malam aku tidak bergeming sedikitpun, nangis nggak, jatuh nggak, pokoknya strong enough deh! Tapi saat ini aku benar-benar sedih. Aku memikirkan bagaimana nenek ketika mendapati aku sudah tidak ada di sebelahnya. Tapi nenek tau kok waktu aku beresin baju, dan ketika aku menulis surat untuk bunda. Ya, aku bilang sama bunda kalau aku ingin menunjukkan rasa tanggung jawabku ke bunda, dan bahwa aku akan pulang, bahwa bagaimanapun rumahku disini, dan air ini jadi tak ingin untuk berhenti. Ah udah dong pi! Kok jadi cengeng gini sih? Mana lagi nih koasi? Pukul 06.17, busyet! Lama banget sih? Gimana nih? Apa naek ojek?aduh jangan boros deh pi! Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan sambil menunggu koasi, aku melewati pangkalan ojek yang terdiri dari para tukang ojek yang salah satunya dari tadi memperhatikanku. “Neng, nunggu koasi yak?hari Minggu mah rada siangan neng! Mending naek ojek aja udah, lebih cepet”. Aku berusaha untuk tidak menggubrisnya, pasaran turun bo! Tapi, pantesan aja dari tadi tuh koasi tercinta kagak nongol-nongol. Eh, masa iya mentang-mentang hari Minggu jadi rada siang?emang orang cari duit ngaruh hari apa?kerja dikantoran sih masuk akal aja deh. But anyway, aku nggak bisa berlama-lama disini, ntar keburu siang, nyampe dirumah Rere jam brapa?lagian kalo ada bekas tetanggaku yang dulu lewat, trus nanyain gimana?Think fast Pi..think fast! Gini aja deh, mendingan ngitung duit aja dulu. Kalo naek ojek dari sini ke pangkalan Mikrolet kira-kira berapa ya? Tiga rebu ampe empat rebuan kali. Terus naek Mikrolet ampe halte ke arah rumah si Rere kira-kira seribu lima ratus, itu aja udah lima rebu lima ratus. Terus naek Metro Mini ampe rumah Rere berapa ya? Aduh..Bu Mega kapan dong perubahan akan terjadi?apakah sebuah Revolusi harus dibayar mahal seperti ini? Ampe mau kabur aja butuh duit gede?ah Pi stop talking about politics! Mau kabur aja dari tadi kagak kelar-kelar. Ya udah, nggak usah naek MM deh, jalan aja, but dari tadi udah jalan jauh kan? Alah…namanya juga orang kabur! pegel-pegel dikit nggak apa-apa deh. Ntar gampang lah, motong jalan. Lagian belom buat nelepon di Wartel. Pokoknya kira-kira abis enam rebuan aja sih ada kali. Ok deh, naek ojek! Aku langsung memanggil ojek yang dari tadi masih memperhatikanku. Hah! Jangan-jangan dia kenal lagi? Ah cuek! bilang aja abis nginep dirumah Uwa terus sekarang mau ke Bandung, lagian sekarang udah nggak pagi-pagi amat kok. “Bang! Ojek!” teriakku. Hanya dalam hitungan detik ojek meluncur dengan indahnya dan berhenti tepat dihadapanku. Nah ojek begini nih yang keren! Cepet, praktis, nggak pake lemot, efisien, pokoknya oke punya dah! ”pangkalan Mikrolet bang!” pintaku sambil naik ke motor. “mau kemana neng?” akhirnya pertanyaan rese itu keluar juga.”lah,tadi kan udah dibilang mau ke pangkalan Mikrolet”, “iyak, mau kemana tujuannya ini hari jalan pagi-pagi, kagak ama mamanya tumben” oh..shit! betul kan?dia mengenalku.”mau ke Bandung bang Mamat,mau nyusul bunda” tiba-tiba aku ingat namanya, mungkin itu namanya. Jalanan tidak sesepi yang aku kira, mungkin karena hari Minggu orang banyak yang udah keluar pagi-pagi, mungkin ada juga yang mau ibadah. Entahlah, terlalu banyak alasan untuk keluar pagi di hari Minggu selain alasan yang aku punya. Sesampainya di pangkalan, orang juga udah lumayan banyak. Aku mengeluarkan uang limaribu dan menyodorkannya ke bang Mamat. Syukurlah kembaliannya dua ribu, berarti perhitunganku nggak jauh beda. Aku langsung naik ke Mikrolet dan duduk di pojok. Tasku yang lumayan menggembung aku taruh dibawah dan kuapit dengan kakiku. Satu demi satu penumpang mulai naik, ada seorang ibu yang pucat wajahnya, dengan pakaian seadanya duduk dihadapanku. Matanya kosong,menerawang jauh…entah kemana. Dan kupikir sama dengan milikku. Mobil penuh, lalu berangkat. Pemandangan yang dilewati sudah tidak asing bagiku, tiap hari aku melewatinya. Aku ingat ketika mau mengantar bunda ke Jatinegara, lalu macet di jalan ini. Bunda dan aku membicarakan tentang benyak hal, tentang masa lalu bunda, tentang kisah-kisahnya, dan aku biasa bercerita tentang teman-teman sekolahku, tentang Dhani, tentang Romy, tentang Darwis, tentang Syanhi, dan sedikit tentang…Daffy. Cowok terakhir yang menyentakku dari buaian asap cinta. ***** with love! Hatiku sudah mati! yah…aku banyak bercerita tentang apa saja ke bunda. Pada kenyataannya, memang hanya dia tempat aku bisa bercerita selama24jam. Kadang bunda bisa begitu mengerti aku. Bunda tidak pernah sama sekali seperti ibu-ibu temanku yang suka melarang pacaran. Bunda malah senang ketika para jejaka yang aku sebut tadi main ke rumah. Seperti ketika Darwis sering mengantarku pulang. Bunda malah sering mempertanyakan kenapa aku tidak seperti remaja laen yang suka berpacaran. Karena pada
kenyataannya, sampai sekarang pun aku belum pernah pacaran. Aku lebih menghargai hubungan pertemanan dengan sistem simbiosis mutualisme. Karena aku muak dengan kedok-kedok yang mengatasnamakan cinta, padahal tujuan utamanya cuman satu, nafsu! Hah! Kalo begituan doang yang dicari sih ngapain susah-susah pacaran! Mending pergi ke jalan, take and give and…goodbye…! Nggak ada yang sakit ati, karena nggak ada yang merasa dirugikan, nggak usah ada acara potong kue segala, 1 bulan , 2bulan alaah…boros! Belom tentu kawin nangisnya udah berminggu-minggu. Bagiku menjalin suatu hubungan itu perlu, untuk kita belajar, belajar memahami orang, memahami diri sendiri, and memahami hidup. Hidup ini untuk apa sih? Oh Tuhan! Seharusnya hidup ini hanya untukMu, tapi apa boleh dikata?tidak semudah itu…walau tidak sesulit itu! Aku banyak mengerti hidup dari orang-orang yang datang dan pergi dalam hidupku. Dulu aku menganggapnya sebagai suatu penghinaan, pengkhianatan, tapi sekarang aku lebih suka menganggapnya sebagai sebuah pelajaran. Dan…aku banyak mengambil pelajaran itu juga dari pengalaman-pengalaman bunda. Bahwa dari seratus buah hubungan, 80% wanita-lah yang lebih dirugikan. Dan kalau sudah mengingat hal ini aku setuju dengan pemikiran Daffy yang seorang feminis. Ya, aku akui, dia pintar. Seakan membaca berpuluh rak buku kalau sedang bersamanya. Tapi, usahanya untuk meyakinkan aku bahwa ia berbeda dengan cowok-cowok yang udah aku kenal, tadi malam gagal. Sama aja kok! tapi aku tetap belum mengeluarkan doktrin kalau semua cowok sama aja. Aku berpendapat, dari seratus orang berarti ada seratus karakter yang berbeda, walau tetap ada beberapa kecenderungan yang sama. Tapi, itulah manusia, kita tidak bisa berharap banyak dari seorang manusia. Hah!? Apa yang aku katakan tadi? Kita tidak bisa berharap banyak dari manusia, lalu apa yang bisa aku harapkan dari bunda? Untuk mencoba lebih mengerti aku? Mungkin kekurangannya, dia tidak pernah bisa untuk mencoba mengerti orang selain dari pada apa yang bisa dia mengerti. Halte yang aku tuju sebentar lagi, aku mengeluarkan uang dari kantongku, dan aku melihat sekilas ibu yang duduk didepanku itu pun mengeluarkan uang, oh mungkin kita bertujuan sama. Sesampainya disana aku turun. Aku duduk sebentar di halte, untuk membereskan tasku yang mulai acak-acakan isinya. Ternyata si ibu itu juga duduk disampingku, oh rupanya dia kecapekan juga. Ada sebuah Wartel diseberang halte, baru buka kayaknya. Aku berpikir untuk menelepon Rere dulu, sebelum aku berikan dia kejutan besar-besaran. “Halo, selamat pagi! bisa bicara dengan Rere?”tanyaku.”Bentar!” busyet! Rere pembokatnya galak amat. “halo?” suara Rere terdengar serak, pasti baru bangun.”Re, ini gue Pipi, gue mau kerumah lo sekarang boleh nggak?”,”mau ngapain Pi?gue baru mau ke rumah lo ntar siang, lo tunggu gue ya Pi! gue mau nginep”,”ha!? Aduh Re, gue ini mau nginep, ntar gue jelasin deh dirumah lo, emang rumah lo kosong?udah ntar juga ada gue kok. Lo tunggu gue aja deh, ok?”,”nggak bisa Pi, gue ribut ama nyokap, Pi sumpah gue nggak tau mesti gimana, gue pengen curhat kesiapa gue nggak tau lagi Pi gimana dong? Nyokap tuh dari semalem maki-maki temen-temen gue di telepon tau nggak sih? Cuman gara-gara gue ngilangin Hp-nya doang Pi”. Oh shit! Cuman?! Sama donk! Aku juga ‘cuman’ nabrakkin mobil nyokap! Ah Rere, bikin tambah pusing aja sih. “ya udah deh Re, gue nggak jadi kesana and kayaknya lo nggak bisa kerumah gue juga, karena gue bernasib sama ama lo, sorry ya Re! Thanks anyway!” sebelum pulsa berjalan lebih jauh telepon langsung aku tutup, aku tidak tau lagi bagaimana penilaian Rere terhadapku, seorang sobat lama yang berkhianat? masalahnya aku juga sedang dalam masalah. Seperti aku bilang, kita tidak bisa berharap banyak dari manusia. Aku kembali ke halte, ternyata si ibu itu masih ada. Aku termenung, sambil menyaksikan mobil-mobil yang lewat. Mau kemana lagi sekarang?dengan duit tinggal lima ribu-an. Si Rere kenapa pake ribut segala sih? Jangan-jangan yang tadi ngangkat telepon nyokapnya lagi? Ah…puyeng! Aku melirik, si ibu itu masih termenung, matanya masih kosong, menatap lurus kedepan diluar batas cakrawala. Dan ia meneteskan air mata. Oh Tuhan..kenapa begitu banyak air mata pagi ini? Aku, Rere, sekarang si ibu ini. Tiba-tiba saja aku ingin tau, aku berdehem sedikit, apa yang ditangiskan seorang ibu di halte yang sepi pagi-pagi selain kabur dari rumah? “Ehm, ibu menangisi kepergian siapa?”aku beranikan diri untuk bertanya. Diam…ya udah, mungkin terlalu privacy, terlalu dalem,atau mungkin dia rada ‘miring’ kali. Aku menguap, oh pagi yang melelahkan. Aku jadi terpikir, semua yang telah aku lakukan dalam beberapa jam kebelakang tadi hanya didasari oleh kecewa, kecewa yang mendalam! Daffy…Dinda…bunda…tiba-tiba aku merasa membenci semuanya, semua yang selama ini aku pikir dapat aku sentuh, aku jamah, saat jiwa ini sepi. Tapi untuk apa? Buang-buang waktu membenci orang! “saya menangisi kepergian saya”, suara parau si ibu tadi membangkitkan anganku, wah bisa buka mulut juga si ibu ini, padahal aku rada ngantuk, tapi kan aku yang tadi nanya duluan. “kepergian ibu? Kalau ibu udah memutuskan untuk pergi, kenapa harus ditangisi? Lagian…kenapa ibu memutuskan untuk pergi, kalau ibu sendiri belum merasa yakin?”wah jadi curhat nih bentar lagi. “Bukan saya yang memutuskan untuk pergi, tapi suami
saya, dia merasa saya mengganggu rumah tangganya dengan istri mudanya. Saya..saya tulus menyayanginya dari dulu, saya sudah bahagia hanya dengan mengurus anak dan suami di rumah, saya tidak pernah menuntut apa-apa, sampai akhirnya dia bilang mau kawin lagi, saya hanya bisa menangis, dan semalam dia mengusir saya, hanya karena istrinya merasa saya judesin” oh..shit! satu lagi pemikiran Daffy yang terbukti. Aku diam sebentar, membiarkan bebannya meluap dengan tangisnya. “terkadang kita memang harus menerima kenyataan pahit. Kalau layangan kesayangan kita putus terbawa angin dan entah tersangkut dimana,kita merasa hancur, lalu tiba-tiba ada angin berhembus yang membawa layangan kembali kepelukan kita, apa kita harus menolaknya? Saya rasa sulit, lalu…kenapa tidak mencoba mengalihkan ketulusan yang ibu punya sekarang? Untuk anak misalnya, apa tidak terpikir oleh ibu bagaimana rasanya menjadi anak yang hidup bersama ibu tiri? Dan saat kita menyadari bahwa layangan itu masih tetap milik kita, saya rasa tidak masalah apa yang sudah terjadi dulu, karena yang terpenting adalah bagaimana seseorang dapat menghayati eksistensi dirinya lewat orang lain yang membutuhkannnya, tanpa orang lain itu harus kita cintai lebih dulu, karena cinta akan tiba manakala jembatan kasih tlah terbentang dihadapannya”. Dia kembali terdiam…lama. Lalu mengangguk dan berkata,”saya harus pulang? Dengan melanjutkan tugas saya sebagai ibu? Bukan sebagai istri? Karena tugas saya sudah jatuh ke tangan orang lain? Bagaimana bisa dengan perasaan yang sudah hancur seperti ini?”,”ya…saya pikir kalau ibu melakukannya dengan ikhlas, akan lebih mudah bagi ibu untuk memaafkan. Dengan begitu akan lebih mudah juga bagi ibu untuk menyatukan kembali hati yang hancur…lagian…maaf, kenapa bisa segitu besarnya cinta ibu terhadap suami, tapi anak…kok malah…”,”saya tidak pernah bisa punya anak! Anak yang sudah kami besarkan selama ini adalah anak pungut. Itulah sebabnya saya tidak mengerti bagaimana membagi kasih ini, cinta ini.”,”oh, maaf. Tapi menurut saya, yang seperti saya bilang tadi, bagaimana seseorang dapat menghayati eksistensinya lewat orang lain yang membutuhkannya”. Lama kita berdua terdiam, entah apa yang dia pikirkan. Tiba-tiba aku berpikir tentang bunda, nenek, kakek, papa, dan yang terpenting sebuah rumah, sebuah keluarga. Aku ingin sebuah keluarga yang dapat menerimaku sebagai pribadi. Yang membutuhkanku, agar aku dapat menemukan eksistensi diriku. Aku ingin pulang. Oh tidak! Ini hanya sindrom anak minggat! Relax pipi..relax! nanti juga tenang. Santai aja dulu. Pokoknya aku nggak boleh mundur disini, gila kali! Udah keluar rumah aja deg-degannya kaya apaan tau. Masa udah sampe sini, mau mundur gitu aja sih? Cuman gara-gara ngobrol ama ibu-ibu yang lagi Broken Home. Makin siang halte semakin ramai, mungkin karena banyak orang si ibu itu diam aja. Ada tukang gorengan, baru dateng, kayaknya sih mangkal nih. Aduh…laper berat nih bo! Eits, Pi inget dong! Dana nih dana! Eh, si ibu itu beli, aduh sayang nggak kenal, nggak bisa minta deh. Lalu dia memesan minuman di warung rokok di sudut halta. Busyet! Ini ibu kok malah jadi piknik? Udah nggak bingung kali ye? Nggak lama kemudian dia menghampiriku, “mau de? Ambil aja! Saya juga laper!”. Otomatis jadi mokal abis, tau aja dia kalau aku laper. Tanpa malu-malu aku mencomot ba’wan pake cabe, kita makan sambil cerita-cerita. Dia bercerita tentang keluarganya. Acara piknik pun semakin meriah karana ternyata dia memesan dua teh botol, wah makin seru deh obrolannya. Akhirnya aku pun bercerita tentang diriku, bagaimana aku bisa sampai disini, tentang bunda, mobilnya, semuanya. Aku tidak menyangka ternyata dibalik kesenduan wajahnya ternyata dia enak diajak ngobrol. Tiba-tiba aku merasa seperti sedang ngobrol bersama bunda. Tapi pikiranku itu cepat-cepat aku tepis sebelum aku meneteskan air mata untuk yang kesekian kalinya hari ini. Menjelang Dzuhur, kita berdua mencari mesjid terdekat, lalu sholat dan melanjutkan obrolan di teras mesjid, kali ini sambil ditemani dengan ketoprak yang kebetulan tukangnya juga sholat disitu. Tak terasa hari semakin sore, dan aku lupa dengan tujuan awalku. Aku jadi ingat kalau aku membutuhkan pekerjaan. Lalu aku bertanya padanya, dan dia malah menjawab,”udah sore, sebaiknya saya pulang, seperti saran kamu tadi. Terima kasih ya nak! Ternyata usia seseorang kadang tidak menunjukkan kedewasaannya” aku melihat kesejukan di wajahnya, aku berharap dia udah nggak bingung lagi. Tapi lain hal denganku, makin bingung aja, aduh gimana bilangnya nih kalau aku mau numpang tidur dirumahnya aja? Kerjaan biar aku cari besok. “iya, tapi tadinya saya mau…”,”kamu juga pulang, harus pulang! Bunda juga membutuhkan kamu seperti anak saya yang kamu bilang membutuhkan saya.” Aku terkejut dengan kata-katanya.”nggak bu, bunda nggak membutuhkan saya, saya Cuma biang kerok dirumah, pembuat masalah, trouble maker banget deh!”. “pipi, saya berbicara dari sudut pandang seorang ibu. Karena pada kenyataannya, saya terlalu takut untuk tau bahwa anak saya tidak membutuhkan saya lagi, seperti suami saya. Dan dari kamu saya jadi sadar, kalau dia membutuhkan saya. Dan sekarang, saya berharap dari saya kamu sadar, se-galak-galaknya bunda, dia tetap membutuhkan kamu, yaah…paling tidak kan ada nenek yang selalu membutuhkan kamu. Jadi, pulanglah! Kita sama-sama takut untuk ditolak, tapi kita juga sama-sama memiliki kasih yang besar untuk membuat diri ini menjadi berani. Ok?” Untuk kali ini aku benar-benar tidak dapat menahan tangis, aku menangis, menunduk, dan ia memelukku. Oh bunda…Pi sayang bunda! Walau Pi nggak pernah bilang Pi pengen bunda tau itu. Pi sayang bunda, papa, nenek, Kakek, semua…Pi sayang semua..Pi butuh kalian semua!! Tuhan…langitMu mulai memerah…di senja ini…sampaikan kasihku pada bunda Tuhan! Katakan aku merindukannya, aku memohon maaf padanya, aku menyayanginya, aku akan pulang nanti malam…ketika langit kembali ungu. Ketika hati ini hancur, mengeras, dan menyatu kembali, kemudian melunak seperti agar-agar. Aku pergi membawa kecewa yang mendalam, dan gengsi yang terlampau tinggi untuk mengakui bahwa aku membutuhkan kasih, aku membutuhkan mereka, kalian semua! Tapi entahlah…aku mulai melunak, dan aku memutuskan untuk pulang dengan membawa segenap harap, dengan masih menyimpan kecewa yang tidak mudah untuk pergi, walau aku tau…itu pasti! Ia pasti pergi.

0 komentar: