Asap kabut
menyelimuti bumi, aras menjadi panik. Matahari terasa semakin dekat. Bumi memang sedang
memanggang dirinya. Bulan makin susah terlihat, begitu sabit. Titik api
terlihat di sekujur bumi. Walah, penghuni khayangan menjadi panik.
Baladewa turun
ke bumi, memantau dengan mata api, di mana telaga-telaga ? tempat para bidadari
turun dari bianglala,…Ou, mata seorang dewa pedih, tertancap abu dari telaga.
Melesat cepat sang dewa kembali ke aras. Anak manusia mana sebegitu
kurang ajar membuat bumi terpanggang ? Apakah Yang Maha Kuasa penyebabnya,
Waduh,.. takdir siapa percaya ?
Sekilas yang
lalu, para dewa menghirup kiriman udara bersih bumi, para bidadari menikmati sengeng
(sunset) di telaga-telaga segar bumi. Selendang mayang panjang sembilannya
berwarna-warni membusur di angkasa.
Anak-anak
manusia bercengkrama, petani menanam dan menuai. Padi melambai dan menunduk,
bujang dan gadis ribang-ribangan, lesung selalu berbunyi dihantam antan,
guhong gemercik. Sang Kemare datang dengan khabar baik, tatanan
sosial teratur seimbang, hukum berkuasa, tunjuk salah tunjuk ditetak,
Oh, tak ada manusia memakan manusia. Bayi-bayi menangis secara wajar, ketika
lapar minta susu. Menangis bukan karena terpanggang, dan buah dada ibunya pun
tak lagi berisi. Kemarau begitu panjang.
* * *
Siapakah
gerangan, anak manusia di atas batu ? Tuak di kanan, gadis di kiri. Dicumbu
sepuasnya, O, baumu memabukkan, bidadari mengintip dari awang-awang. Urat
geli menggeletar,…
Dia, dia
orangnya. Rentasan. Yang empat windu lalu menumbangkan dewan kute.
Didahului dengan bertebaran fitnah, hawa jahat bertebaran, pembunuhan bukan hal
yang aneh. Kecemasan melanda tujuh kute di utara Muara Cawang. Kematian
bersimaharejalela.
Apalah Belalang
Kerta Gambir ? apalah Simboer tjahaja? Ketika kesepakatan tak lagi
bermakna. Lantas Rentasan naik ke pentas pemerintahan kute, sebagai
penguasa tujuh kute. Rentasan muncul sebagai pahlawan, sebagai pembaharu
yang dieluh-eluhkan. Lengkaplah, Pemuda yang juga memiliki ilmu awet muda ini
lengkap kesaktiannya.
Banyak orang
ditoreh beraliran sesat. Harus dipisahkan nyawa dan badannya.
Lambat laun
semua berubah. Setiap datang ke pelosok-pelosok kute, rakyat dikumpulkan
dulu. Diajari berbicara yang baik dan benar, sebelum bertemu 'Pemimpin sejati'.
Pagar-pagar rakyat miskin di poles pewarna. Pondok-pondok diratakan,
rumah-rumah dikapuri.
Rakyat hidup
dalam masa 'lupa' yang panjang dan gelap. Tak ada cahaya di ujung terowongan.
Sekalipun sesekali perlawanan terlihat, hanyalah letupan-letupan kecil yang
cepat dipadamkan. Penindasan ini pun didukung para cendekia yang melacurkan
pengetahuan pada penguasa. Kepandaian dihargai dengan pangkat dan emas. Kaum
Cendikia tak mau kembali ke talang, "Rakyat malas dan tak menguntungkan untuk
hidup di sana!" Sergah mereka.
Kekuatan adat,
kepercayaan, bersebunyi di balik tirai hitam. Disudut sumpak balai-balai adat,
tempat bersembahyang. Berbicara dalam kasak-kusuk. Hanya menghabiskan waktu
berprasangka buruk terhadap pemikiran-pemikiran pembaharuan.
Mereka justru
membantu pembesar menarik upeti dari setiap musim ngetam, musim berjual
getah, berniaga ternak, dan damar.
Dan Para tukang
cocok tanam, di pedesaan bukan sekali dua melakukan perlawanan, bersama para
pekerja di tempat-tempat usaha serta kalangan terpelajar. Apalah kekuatan. Para
begundal Rentasan menguasai semuanya. Menguasai pendidikan, tipuan,
persenjataan dan kekuatan seluruh negeri.
0 komentar:
Post a Comment