Tok-tok tikus,
Melemang melukut,
Datanglah (h)antu tikus,
Nyuhok-nyuhok kebawah Jelapang Simar,....
Melemang melukut,
Datanglah (h)antu tikus,
Nyuhok-nyuhok kebawah Jelapang Simar,....
Tembang itu
diiringi tawa geli anak kecil.Bersama dengan suara malam lainnya, jangkrik,
burung, angin dan daun-daun, tembang itu berasal dari sebuah Talang di tepi
sungai besar. Talang Buleh Pehabung yang artinya boleh berlebih atau makmur.
Isinya cuma empat rumah panggung, bersuasana tenang. Teratur dan aman,
sekalipun tanpa peraturan tertulis. Hanya kesepakatan tertuang di kepala yang
diberi nama 'Belalang Kerta Gambir', tunjuk salah, tunjuk ditetak.
Tok-tok tikus, mele,...
Suara itu tepat
dari rumah Matni. Istrinya Ningyut bertembang sambil bergelut dengan putranya
yang sedang belajar berjalan. Simar adalah nama putra Matni dan Ningyut.
Betapa rindunya
Siamak dan istrinya akan kelahiran seorang anak. Seperempat abad sudah usia
perkawinan mereka. Tak juga muncul seorang anak, maklumlah anak di negeri
mereka, bukanlah seperti dongeng di negeri Andersen, bayi antaran para bangau.
Purnama empat
belas. Bulan bulat penuh. Hanya nenek bongkok yang sedikit menambah warna sinar
emas bulan. Bocah berkumpul di tengah laman. Bocah laki-laki behusek,
bermain pedang-pedangan. Bergulat di tanah. Gadis-gadis kecil berjajar di
anak tangga bulat, saling mengepang rambut kawannya, sehabis bermain cak-ingkling.
Bayi bernyanyi
kegirangan di sebelah rumah Siamak dan Rieayu. Orangorang tua begesah, bercerita
dari tundan ke tundan. Semua rumah berdekatan. Talang berbau gelundu
dari dapur-dapur yang membuat minyak kelapa. Aromanya bercampur pandan
memenuhi talang. Malam begitu akrab, tenang, dan sejuk.
Ningyut masih bergelut dengan
putranya,..bocah-bocah berpedangan. Berlompatan, sembunyi-sembunyi di balik
pohon pisang. Ada
yang mengendap untuk menyerang,... Gadis-gadis kecil bernyanyi di pangkal
tangga.
Siamak dan Rieayu memperhatikan semuanya. Siamak menoleh ke Rieayu, pasangan itu bertatapan. Hampir setengah abad
perkawinan mereka tak juga hadir keturunan. Tak putus asa mereka berpinta
berupaya. secara adat, secara akal sehat,...
Rieayu
mendongak ke langit. Siamak cuma tertunduk. Sinar kesedihan, sinar
pengharapan, oh adakah terbaca dari langit. Keduanya bertatapan lama. Ambung
Rieayu tek selesai dianyam. Cuma asap tembakau dari daun nira Siamak yang
berterusan mengapul. Keduanya
bertatapan. Tak jelas, apalah kesedihan ?
Bocah-bocah sudah berhenti main
pedang-pedangan. Gadis kecil semua sudah berkepang. Tawa Simar sudah berhenti
agaknya. Sudah tidur agaknya di tetek ibunya. Lampu minyak kelapa di tundan
ujung sudah padam. Hanya suara jangkrik, angin menggesek rumpun buluh.
Bocah-bocah dengan peluh naik ke panggung. Pedang-pedangan dari pelepah pisang,
terpecah terkapar-kapar. Perdang milik Rentasan dari batang rukam menghancurkannya.
Tiga bocah menangis. Kalah. Rentasan memang
begitu subur tubuhnya. Dibanding bocah seusianya. Gadis-gadis berlarian dengan
suka. Kepang panjang dan belah dua bergoyang. Pulang.
"Indok, ceritakan andai-andai,"
Terdengar gadis kecil Remayun meminta ibunya mendongeng.
"Ini panggung si Kude Irang, Kude
Irang kude melayang. Kakak mengilir ke Pelimbang. Belikan aku sabut Kain,
belikan aku pitir emas,..." Sayup-sayup terdengar syair Kude Irang dari
dongeng Rumasalit dan antu Mook.
Dan malam pun
bergerak menuju pagi. Malam tertidur. Siamak dan Rieayu bertatapan. Angin
lembut menjatuhkan daun-daun Kemang. Ada suara gigi tupai menguliti duku
muda. Malam
itu tak terdengar burung pelatuk membuat sarang.
Nyala-nyala api padam. Cuma bara berkilat
di bawah masing-masing panggung. Tak ada tuju.
Tak ada bintang jatuh. Siamak dan Rieayu masih ditundan. Menyesali nasib
ataukah mencari harapan. Rieayu mendongak ke langit. Berpinta. Siamak
mengikuti.
"Oh, yang
memberi hidup. Bila kau percaya pada kami, Apalah pelipur, jika tak ada seorang
anak,…"
Dan langit tak berubah. Senandung satwa
semakin indah.
* * *
Esoknya, Pasangan pembelah kayu ini
meninggalkan talang, mencari damar dan pohon sialang.Pengembaraan
pembela kayu dan istrinya ini tiba di Gunung Tujuh. Entahlah apa do'a yang
dipanjatkannya, terlalu indah, doa seorang rakyat, do'a seorang yang penuh
pengharapan. Lancang sekali jika dicoba membahasakannya ke dalam sebuah tulisan
sembrono.
Singkat kata
terjadilah dialog antara Siamak dan Sang Pencipta. Entahlah, apakah dialog pelambang,
atau dialog oral.
"Apalah
pelipur, jika tak ada seorang anak,…" Begitu menghiba nadanya. Berpadu dengan gesekan buluh-buluh tertiup angin
sepoi.
Siamak adalah
pembelah kayu yang dikenal jujur. Tak pernah sembarang mengambil pekerjaan. Tak
pula pernah berniat lebih dari sekedar kebutuhannya, sederhana tapi tidak
miskin. Meski garis tegas antara sederhana mulai bias dengan kemiskinan.
Empat puluh
hari empat puluh malam mereka berpinta. Sang istri setia menemaninya. Hidup
hanya hitungan waktu.
Mereka hendak
melanjutkan berpinta pada hari ke empat puluh satu. Ketika guruh petir
bergemuruh berani. Hutan begitu kelam, tabir hitam turun berlembar-lembar.
Melesat sang
Kemare membawa khabar " Segera Pulang!"
Sepasang tua
bersedekap.
"Mengapa
kami harus pulang, tak ada yang menunggu kami di Talang."
"Segeralah
Pulang. Tapi, potonglah kayu besi di sebelahmu. Apa yang kau pinta akan kau
temui berkat kekuasaan-Nya." Sang Kemare berlalu.
Keduanya
bertatapan. Istrinya mengangguk. Apakah mungkin sesuatu di dalam kayu. Dan
apalah mampu membuat rebah kayu besi dengan kapak tuanya.
Tapi itu
dilakukan mereka. Hari pertama berhasil mengikis kulit kayu besi. Hari kedua,
lingkar tahun terluar terkikis, begitulah selanjutnya. Berapakali mereka harus
mengganti gagang kapak tua. Untuk alat pemotong itu dari sebuah besi tua bagus
mutu.
Hari ke setengah, Rieayu terdiam saja.
"sudahlah, kakak Siamak. Kita Pulang
ke Talang. Sudah dua kali purnama muncul kita tak menemukan
apa-apa,..." Nasihatnya akhirnya.
Siamak merangkulnya.
"Rieayu, jikapun tak sesuatu ada di sini, kayunya akan berguna untuk
pedang-pedangan anak kita nanti." Hibur orang tua itu.
"Siapa
tahu, dia bisa bermain dengan yang lain."
"Iya,
kalau dia perempuan?"
"Kita
berikan untuk calon suaminya kayu bermutu ini, Pondok mereka akan teduh dan
kuat. Dingin dan kokoh,..."
Keduanya
melanjutkan. Rieayu sambil Siamak memotong Kayu, berhasil membangun pondok
kecil, peristirahatan menjelang malam. Ketika fajar membuat bayang-bayang daun
kelapa dan pinang-pinangan, Siamak memotong lagi.
Begitulah seterusnya. Hari Keempat puluh
pohon tua itu rebah. Betapa kecewa Rieayu melihat tak ada apa di
dalamnya,..." Pohon itu perlahan rebah ke mata
air berhulu di matahari terbit.
Kayu besi
menimpa rumpun bambu betung. Menerapas daun-daun buluh. Mengesek bilah sebelum
jatuh berdebam ke tanah. Siamak dan Rieayu mengitari tunggul kayu besi. Tak ada
lelubang, tak ada tanda-tanda pencapaian permintaan mereka.
Burung malam berbunyi siang itu. Rieayu
ketakutan. Duhai musibah apakah pertanda. Betina tua memeluk Suaminya, yang tak
kalah ketakutan. Sang Kemare tak terdengar, sebelumnya Siamak sempat
diperingatkan istrinya bahwa ada suara nenek di dekat mereka. "Aku
takut Kakak,..."
"Ssssst,... Apakah kau mendengar
sesuatu ?"
"Hanya suara burung malam,...suara guhong
?"
"Bukan,..." Siamak menjawab
dengan mendesis. "Cobalah kau dengar lebih tajam, di tempat rebahan kayu
kita, di rumpun buluh, arah mata air,..."
Rieayu terdiam.
Keningnya bertambah kerut. Matanya semakin tajam,... ada sesuatu tertangkap di
telinga. Keduanya bertatapan lama,.... Keduanya berlari meninggalkan tempat
mereka semula. Menuju ke sumber suara," Suara Bayi,..." Sorak mereka.
Siamak mencegah
lari istrinya sebelum tiba di ujung rumpun. Ada harimau tua tertimpa kayu
besi,... mulutnya berdarah, entah darah apa,... ataukah darahnya sendiri.
Mengendap orang
tua itu menuju bangkai harimau. Di atas dedaun mati,...tergolek bayi
sekira-kira dua puluh hari. Darah sedikit mengucur di kulit bahunya yang empuk,...
lembut, merah.
Rieayu langsung mendekapnya,...
Oh,...mereka bersedekap berdua. Memanjatkan
syukur ke pemberi hidup. Bayi itu kelak diberi nama Jelihim, Anak Sepotong
Kayu.
* * *
"Jelihim, makanlah dulu."
"Iya, nek. Nanti dulu," Jelihim
memanggil keduanya Nenek. Nenek Jantan dan Nenek
Betina, seperti yang diajarkan. Dua orangtua itu menghadapi gulai tempoyak mengepul
di atas tikar pandan. Masa tua begitu menyenangkan, terlebih sejak kehadiran
anak kecil di rumah mereka. Sekalipun keduanya masih mencari tahu siapa orang
tua Jelihim sebenarnya, meyusuri ceceran darah dari taring harimau.
"Jelihim, makan dulu,..."
"Iya, Nek,"
Kumbang arang-arang,
'Men nak idup keluah,
Men nak mati kedalam.
'Men nak idup keluah,
Men nak mati kedalam.
Tembang itu terdengar di bawah tangga.
Bocah Jelihim memukul-mukul tiang rumah, mengusir kumbang dari liang-liang.
Menangkapnya dengan benang yang menjerat. Kumbang arang-arang, 'men nak idup
ke luah, men nak mati ke dalam,...
* * *
0 komentar:
Post a Comment