Wednesday, April 24, 2013

(2)Anak Sepotong Kayu, Syam Asinar Radjam



Tok-tok tikus,
Melemang melukut,

Datanglah (h)antu tikus,
Nyuhok-nyuhok kebawah Jelapang Simar,....
Tembang itu diiringi tawa geli anak kecil.Bersama dengan suara malam lainnya, jangkrik, burung, angin dan daun-daun, tembang itu berasal dari sebuah Talang di tepi sungai besar. Talang Buleh Pehabung yang artinya boleh berlebih atau makmur. Isinya cuma empat rumah panggung, bersuasana tenang. Teratur dan aman, sekalipun tanpa peraturan tertulis. Hanya kesepakatan tertuang di kepala yang diberi nama 'Belalang Kerta Gambir', tunjuk salah, tunjuk ditetak.
Tok-tok tikus, mele,...
Suara itu tepat dari rumah Matni. Istrinya Ningyut bertembang sambil bergelut dengan putranya yang sedang belajar berjalan. Simar adalah nama putra Matni dan Ningyut.
Betapa rindunya Siamak dan istrinya akan kelahiran seorang anak. Seperempat abad sudah usia perkawinan mereka. Tak juga muncul seorang anak, maklumlah anak di negeri mereka, bukanlah seperti dongeng di negeri Andersen, bayi antaran para bangau.
Purnama empat belas. Bulan bulat penuh. Hanya nenek bongkok yang sedikit menambah warna sinar emas bulan. Bocah berkumpul di tengah laman. Bocah laki-laki behusek, bermain pedang-pedangan. Bergulat di tanah. Gadis-gadis kecil berjajar di anak tangga bulat, saling mengepang rambut kawannya, sehabis bermain cak-ingkling.
Bayi bernyanyi kegirangan di sebelah rumah Siamak dan Rieayu. Orangorang tua begesah, bercerita dari tundan ke tundan. Semua rumah berdekatan. Talang berbau gelundu dari dapur-dapur yang membuat minyak kelapa. Aromanya bercampur pandan memenuhi talang. Malam begitu akrab, tenang, dan sejuk.
Ningyut masih bergelut dengan putranya,..bocah-bocah berpedangan. Berlompatan, sembunyi-sembunyi di balik pohon pisang. Ada yang mengendap untuk menyerang,... Gadis-gadis kecil bernyanyi di pangkal tangga.
Siamak dan Rieayu memperhatikan semuanya. Siamak menoleh ke Rieayu, pasangan itu bertatapan. Hampir setengah abad perkawinan mereka tak juga hadir keturunan. Tak putus asa mereka berpinta berupaya. secara adat, secara akal sehat,...
Rieayu mendongak ke langit. Siamak cuma tertunduk. Sinar kesedihan, sinar pengharapan, oh adakah terbaca dari langit. Keduanya bertatapan lama. Ambung Rieayu tek selesai dianyam. Cuma asap tembakau dari daun nira Siamak yang berterusan mengapul. Keduanya bertatapan. Tak jelas, apalah kesedihan ?
Bocah-bocah sudah berhenti main pedang-pedangan. Gadis kecil semua sudah berkepang. Tawa Simar sudah berhenti agaknya. Sudah tidur agaknya di tetek ibunya. Lampu minyak kelapa di tundan ujung sudah padam. Hanya suara jangkrik, angin menggesek rumpun buluh. Bocah-bocah dengan peluh naik ke panggung. Pedang-pedangan dari pelepah pisang, terpecah terkapar-kapar. Perdang milik Rentasan dari batang rukam menghancurkannya.
Tiga bocah menangis. Kalah. Rentasan memang begitu subur tubuhnya. Dibanding bocah seusianya. Gadis-gadis berlarian dengan suka. Kepang panjang dan belah dua bergoyang. Pulang.
"Indok, ceritakan andai-andai," Terdengar gadis kecil Remayun meminta ibunya mendongeng.
"Ini panggung si Kude Irang, Kude Irang kude melayang. Kakak mengilir ke Pelimbang. Belikan aku sabut Kain, belikan aku pitir emas,..." Sayup-sayup terdengar syair Kude Irang dari dongeng Rumasalit dan antu Mook.
Dan malam pun bergerak menuju pagi. Malam tertidur. Siamak dan Rieayu bertatapan. Angin lembut menjatuhkan daun-daun Kemang. Ada suara gigi tupai menguliti duku muda. Malam itu tak terdengar burung pelatuk membuat sarang.
Nyala-nyala api padam. Cuma bara berkilat di bawah masing-masing panggung. Tak ada tuju. Tak ada bintang jatuh. Siamak dan Rieayu masih ditundan. Menyesali nasib ataukah mencari harapan. Rieayu mendongak ke langit. Berpinta. Siamak mengikuti.
"Oh, yang memberi hidup. Bila kau percaya pada kami, Apalah pelipur, jika tak ada seorang anak,…"
Dan langit tak berubah. Senandung satwa semakin indah.
* * *
Esoknya, Pasangan pembelah kayu ini meninggalkan talang, mencari damar dan pohon sialang.Pengembaraan pembela kayu dan istrinya ini tiba di Gunung Tujuh. Entahlah apa do'a yang dipanjatkannya, terlalu indah, doa seorang rakyat, do'a seorang yang penuh pengharapan. Lancang sekali jika dicoba membahasakannya ke dalam sebuah tulisan sembrono.
Singkat kata terjadilah dialog antara Siamak dan Sang Pencipta. Entahlah, apakah dialog pelambang, atau dialog oral.
"Apalah pelipur, jika tak ada seorang anak,…" Begitu menghiba nadanya. Berpadu dengan gesekan buluh-buluh tertiup angin sepoi.
Siamak adalah pembelah kayu yang dikenal jujur. Tak pernah sembarang mengambil pekerjaan. Tak pula pernah berniat lebih dari sekedar kebutuhannya, sederhana tapi tidak miskin. Meski garis tegas antara sederhana mulai bias dengan kemiskinan.
Empat puluh hari empat puluh malam mereka berpinta. Sang istri setia menemaninya. Hidup hanya hitungan waktu.
Mereka hendak melanjutkan berpinta pada hari ke empat puluh satu. Ketika guruh petir bergemuruh berani. Hutan begitu kelam, tabir hitam turun berlembar-lembar.
Melesat sang Kemare membawa khabar " Segera Pulang!"
Sepasang tua bersedekap.
"Mengapa kami harus pulang, tak ada yang menunggu kami di Talang."
"Segeralah Pulang. Tapi, potonglah kayu besi di sebelahmu. Apa yang kau pinta akan kau temui berkat kekuasaan-Nya." Sang Kemare berlalu.
Keduanya bertatapan. Istrinya mengangguk. Apakah mungkin sesuatu di dalam kayu. Dan apalah mampu membuat rebah kayu besi dengan kapak tuanya.
Tapi itu dilakukan mereka. Hari pertama berhasil mengikis kulit kayu besi. Hari kedua, lingkar tahun terluar terkikis, begitulah selanjutnya. Berapakali mereka harus mengganti gagang kapak tua. Untuk alat pemotong itu dari sebuah besi tua bagus mutu.
Hari ke setengah, Rieayu terdiam saja.
"sudahlah, kakak Siamak. Kita Pulang ke Talang. Sudah dua kali purnama muncul kita tak menemukan apa-apa,..." Nasihatnya akhirnya.
Siamak merangkulnya. "Rieayu, jikapun tak sesuatu ada di sini, kayunya akan berguna untuk pedang-pedangan anak kita nanti." Hibur orang tua itu.
"Siapa tahu, dia bisa bermain dengan yang lain."
"Iya, kalau dia perempuan?"
"Kita berikan untuk calon suaminya kayu bermutu ini, Pondok mereka akan teduh dan kuat. Dingin dan kokoh,..."
Keduanya melanjutkan. Rieayu sambil Siamak memotong Kayu, berhasil membangun pondok kecil, peristirahatan menjelang malam. Ketika fajar membuat bayang-bayang daun kelapa dan pinang-pinangan, Siamak memotong lagi.
Begitulah seterusnya. Hari Keempat puluh pohon tua itu rebah. Betapa kecewa Rieayu melihat tak ada apa di dalamnya,..." Pohon itu perlahan rebah ke mata air berhulu di matahari terbit.
Kayu besi menimpa rumpun bambu betung. Menerapas daun-daun buluh. Mengesek bilah sebelum jatuh berdebam ke tanah. Siamak dan Rieayu mengitari tunggul kayu besi. Tak ada lelubang, tak ada tanda-tanda pencapaian permintaan mereka.
Burung malam berbunyi siang itu. Rieayu ketakutan. Duhai musibah apakah pertanda. Betina tua memeluk Suaminya, yang tak kalah ketakutan. Sang Kemare tak terdengar, sebelumnya Siamak sempat diperingatkan istrinya bahwa ada suara nenek di dekat mereka. "Aku takut Kakak,..."
"Ssssst,... Apakah kau mendengar sesuatu ?"
"Hanya suara burung malam,...suara guhong ?"
"Bukan,..." Siamak menjawab dengan mendesis. "Cobalah kau dengar lebih tajam, di tempat rebahan kayu kita, di rumpun buluh, arah mata air,..."
Rieayu terdiam. Keningnya bertambah kerut. Matanya semakin tajam,... ada sesuatu tertangkap di telinga. Keduanya bertatapan lama,.... Keduanya berlari meninggalkan tempat mereka semula. Menuju ke sumber suara," Suara Bayi,..." Sorak mereka.
Siamak mencegah lari istrinya sebelum tiba di ujung rumpun. Ada harimau tua tertimpa kayu besi,... mulutnya berdarah, entah darah apa,... ataukah darahnya sendiri.
Mengendap orang tua itu menuju bangkai harimau. Di atas dedaun mati,...tergolek bayi sekira-kira dua puluh hari. Darah sedikit mengucur di kulit bahunya yang empuk,... lembut, merah.
Rieayu langsung mendekapnya,...
Oh,...mereka bersedekap berdua. Memanjatkan syukur ke pemberi hidup. Bayi itu kelak diberi nama Jelihim, Anak Sepotong Kayu.
* * *
"Jelihim, makanlah dulu."
"Iya, nek. Nanti dulu," Jelihim memanggil keduanya Nenek. Nenek Jantan dan Nenek Betina, seperti yang diajarkan. Dua orangtua itu menghadapi gulai tempoyak mengepul di atas tikar pandan. Masa tua begitu menyenangkan, terlebih sejak kehadiran anak kecil di rumah mereka. Sekalipun keduanya masih mencari tahu siapa orang tua Jelihim sebenarnya, meyusuri ceceran darah dari taring harimau.
"Jelihim, makan dulu,..."
"Iya, Nek,"
Kumbang arang-arang,
'Men nak idup keluah,
Men nak mati kedalam.
Tembang itu terdengar di bawah tangga. Bocah Jelihim memukul-mukul tiang rumah, mengusir kumbang dari liang-liang. Menangkapnya dengan benang yang menjerat. Kumbang arang-arang, 'men nak idup ke luah, men nak mati ke dalam,...
* * *

0 komentar: