Jelihim minggat. Sejak tiga hari ini Tak muncul
di perguruan tulis baca yang diasuh guru-guru bayaran penguasa negeri.
Kawan-kawannya mencemooh 'kebodohan' itu.
Guru-guru mengajarkan tulis baca surat ulu. Mengajari
mengeja kitab-kitab yang tak terbaca mata hati Jelihim. Terjadi
di sini pemindahan pengetahuan dan keterampilan hasil ceplakan yang tak
menyentuh talang, kute, marga dan Negeri. Guru-guru seperti orang-orangan
pengusir burung di ume yang menunjukkan pengetahuan yang diceplak oleh pembesar
negeri bidang keilmuan dari kitab-kitab tak dikenal di luar. Dibiakkan di dalam
negeri begitu saja.
Jelihim minggat.
"Nenek ingin
aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah,"
Kawan-kawannya mencemooh,...
Setiap tempat adalah sumber ilmu. Pergi begitu saja, berguru dengan alam ke padang datar.
"Pengalaman
adalah guru terbaik, karena bayaran guru mahal,..." Canda Jelihim kepada
kawan-kawannya.
Muak dengan
keseharian mencatat dan menghapus batu sabak. Menghapus isi kepala berisi
kederhanaan. Menghapus kenyataan di gerbang perguruan terdapat peminta-minta,
bertebaran mereka yang tak mampu masuk, dan terpaksa menjadi penjahat tak
terbagi pengetahuan dan kesempatan. Walah, di dalam pun orang-orang dilatih menjadi
penjahat. Bau pantat dimuka guru.
Masuk ke sarang pengetahuan dijadikan tujuan
utama. Bukanlah sebuah perjalanan pengikisan kekentalan perseberangan derajat. Orang-orang mencari 'laba' dengan modal yang ditanamkan di pada pendidikan.
Murid terlatih menabung nilai di saku guru-guru, dengan kehadiran tanpa
penghayatan dan penghormatan palsu. Orang-orang menjadi tergantung bukan karena
mencari ilmu adalah tugas hidup. Hanya alasan laba rugi bak perniagaan.
Orang-orang dibodohi tujuan mencerdaskan kehidupan negeri.
Hanyalah lingkaran
setan di perguruan macam ini. Orang-orang bertujuan mencapai cita-cita menjadi
pengawal penguasa negeri, bukan untuk kepentingan orang lain. Asal untuk tidak
kelaparan, memeras pun halal. Lingkaran setan menghasilkan orang-orang
berkedudukan, berkecukupan dan mampu menjadikan keturunan di
perguruan-perguruan ternama. Dan Talang tetap tak ada perubahan.
Orang miskin tak mampu menginjak perguruan.
Orang muda desa tak mampu belajar di kute, Tak mampu menyuap menjadi
pengawal pembesar.Walah,..orang-orang berilmu diharapkan mampu menuntaskan
perseberangan ini, mampu menuntaskan kemiskinan. Padahal tak ada yang mampu
menarik benang merah antara keduanya.
Orang-orang muda di talang-talang tersesat pada
keputus-asaan berkepanjangan, tak berdaya dengan tingginya biaya berguru.
Sekalipun sempat mencicipi belajar di perguruan, kenyataan di kute tak ada
peluang bagi mereka mengabdikan ilmu. Sungguh telah tertolong bangsa priyayi
yang sekarang memerintah merebut kekuasaan.
Oh, semua menjadi
ajang pemaksaan saja. Pencucian otak, penghancuran nilai kemanusiaan. Betapa
manusia adalah mahluk membingungkan. Semua nilai dikurbankan demi kebendaan.
Makanya Jelihim
minggat. Mengembara, berguru kepada angin yang bertiup, pada matahari yang setia,
tak pernah tenggelam, pada bintang benderang sekalipun tau yang dilihatnya
bukanlah bintang, hanya sebuah cahaya dari benda bergerak cepat yang tertangkap
mata lemahnya dalam jarak begitu jauh. Jelihim mengembara setelah berpamit ke
Siamak, Rieayu, dua orang tua yang besedingan.
* * *
Pengembaraan begitu
melelahkan, belajar pada mata air, belajar pada petani tentang bertanam tanpa
harus menikmati panen.
Akhirnya
pengembaraan berhenti sebentar. Jelihim bertemu guru belang kaki. "Tak ada
yang dapat kuberikan padamu Jelihim. Bisa taring raja harimau memenuhi isi
darahmu. Bersilat
hanya melatihmu membunuh,"
"kalaulah itu diniatkan untuk membunuh,
Guru." Jawab Jelihim.
"Nah, ternyata kau lebih bijak
daripadaku."
Di sela berlatih silat, memainkan selendang sampang
due belas,...
"...Apa guna
kita memiliki sekian banyak pemuda dari pondok-pondok berisi ilmu yang cerdas.
Tetapi rakyat dibiarkan bodoh. Segeralah kaum pintar itu pasti akan menjadi
penjajah rakyat dengan kepintaran mereka," Lalu suara itu menghilang guru
belang kaki itu lenyap. Meninggalkan Jelihim di padang datar.
Jelihim terduduk.
Entah mau menangis atau apa dalam perpisahan tak terduga itu. Menangis pun
untuk siapa ?
* * *
Jelihim tepekur saja
dua hari setelah berpisah dengan Belang Kaki. Dia mencoba menggabungkan
gambar-gambar dikepalanya yang panjang dan menghubungkan ke peristiwa pertemuan
mereka.
Matahari begitulah,
dimusim pancaroba. Tak Jelas dingin panasnya. Hanya dia mendapat kesialan hari
ini. Pengembaraannya menghantarkan raganya ke padang tak tampak tepian. Datar
saja. Tak jelas arah bau mata air. Tiga hari jelihim dalam kehausan hebat. Jangankan
mandi. Dia menghisapi keringatnya sendiri.
Malam dingin dan
panas siang menghantam tubuhnya. Bibirnya membiru, memutih dan pecah. Matanya
membengkak saja. Debu begitu menyukai sisa kelembaban di mata Jelihim
sepertinya. Ya, tak ada lagi kelembaban lain. Burung mayat di atas kepala
berputar-putar dengan nyanyian kematian. Hanyalah rundungan kemalangankah yang
pantas dinikmati seorang tak menerima kemapanan.
Menjelang sore. Ya, menjelang sore kalau tidak
salah. Tapi jelihim masih berjalan. Dia masih dapat merasakan selang waktu
pertukaran ujung tumit kiri dan kanan bergantian melangkah pelan. Menjejak di
rumput gersang. Langkahnya mulai amat pelan. Tumit terasa semakin menebal,
perih. Tak ada sisa nasi diperutnya, hanya kemauannya menggerakkan kedua kaki.
"Bukan takut mati, tapi mengapa harus mati dulu," Jelihim berkata
sendiri.
Matanya yang tertutup debu masih bersinar.
Matahari semakin jauh. Dia menikmati kepergian matahari darinya. Oh, tak tahu
Jelihim sedang mengejarnya. Hanya sisa-sisa larik jingga di ujung dataran tak
nampak tepi. Selebih itu dia tak tahu seiring gelapnya dunia, terseret ke
kegelapan yang lebih hitam. Jelihim terjatuh.
"Hei, bangun Beruk!" Suara itu bukan
teriakan. Jelihim menggerak-gerakkan pelupuk matanya.
Setengah sadar
Jelihim merasakan dadanya bergetar dengan bisikan pelan itu. Bergetar tapi tak
sakit. Jelihim membuka mata.
Oh, tersadar dia di
tengah genangan air, mungkin danau. Sebatas dadanya jika duduk.
"Nah, nah, nah
Berukku sudah bangun." Dada Jelihim bergetar lagi. Matanya mencari-cari
arah suara itu. Walah, seorang tua bangkotan di tepi danau berjingkrak aneh. Manusia gila, pikir
Jelihim. Kakinya seperti berselaput lagi, berwarna coklat belang putih.
Berjingkrak untuk apa? Kening Jelihim berkerut
rapat. Dia mendengar nyanyian untuk seorang beruk. Ya, seorang bukan seekor.
Sayup-sayup, terdengar genjer-genjer beruk di
genjer, tercelup berhari-hari jadi beser, seorang beruk pemalas berendam saja,
tak tau malu tak ada mau,...Dengan nada tak tentu. Tak teratur.
Jelihim berhasrat naik dari danau. Mendekati
orang gila belang kaki itu. Setidaknya dia bertanya sesuatu tentang yang tak
diketahuinya sampai di tempat ini. Jelihim coba menggerakkan sendi kaki.
"Eh, Beruk. Mandimu belum usai."
Orang-tua berjingkrak itu berkata Ke Jelihim.
"Bangsat, berarti Beruk itu Saya,"
Jelihim memaki seribu bahasa.
"Habiskan
makimu. Supaya kau bisa berkata baik besok, ha ha ha,..Tapi usaikan mandimu.
Tubuhmu kotor dan menjijikkan. Mundur tiga langkah. Sudah tiga hari kau di sana
saja. Tak baik air keruh untuk tubuhmu Beruk."
Jelihim terhenyak,
telah tiga hari dia mendekam di lumpur ini. Jelihim mencoba menatap matanya. Walah,
mata itu begitu menakutkan, mencorong seperti bola api.
Orang gila itu lebih
terkejut lagi menatap mata Jelihim. Ya, Jagat raya. Matahari ternyata dua.
Lalu dia berjingkrak-jingkrak seperti bocah menerima mainan baru.
"Matahari ada dua, matahari ada dua, Emak,..."
"Gila,"
Bisik Jelihim.
"Eh, Kau jadi
lupa untuk mundur."
Jelihim tak mampu menggerakkkan kakinya. Seolah terpaku
di lumpur. Sekalipun mampu tak akan dia menuruti kemauan orang itu. Dia sudah cukup kebasahan disini. Dia mau pergi melanjutkan
pengembaraannya.
"Masih tak mau
mundur juga. Biar aku paksa!" Orang gila itu melambaikan tangannya.
Lalu tubuh Jelihim diserang angin keras yang
dingin. Tubuhnya tambah menggigil. Terlempar sepuluh depa ke belakang. Jelihim
tergagap. Kedalaman air di tempat barunya menyambut ganas. Tubuhnya meluncur
saja ke bawah.
"Selamat datang, wahai ajal," bisik
Jelihim.
Dia tak mampu
menggerakkan apa-apa. Tubuhnya meluncur lurus. Hanya dia mampu menahan nafas
saja. Gelembung-gelembung udara kecil meluncur berbalik arah dengan luncuran
Jelihim.
"Bange (goblok)
sudah kubilang tiga langkah saja, ha ha ha,...suara itu merambat di dalam air.
Jelihim memaki dalam
hati. Sementara tubuhnya terus ke arah bawah tak tentu batas. Jelihim
memejamkan matanya menyambut sang ajal. Belum pernah sekali dia sepasrah ini.
Lalu dia merasa
rambutnya di tarik dari atas. Jelihim membuka mata. Hanya kaki yang terlihat. Kaki
berbelang-belang. Teringat dia itu orang gila di atas tadi. Secepat kilat
mereka tiba di atas awang-awang. Hanya riak air dan luapan yang meninggi
dilihat Jelihim di atas permukaan danau. Lalu tubuhnya
terlempar lagi ke air, ke kira-kira tiga langkah dari tempatnya semula.
Jelihim menggigil kedinginan. Rahangnya
menggeretak. Sampai malam datang lagi. Sumsumnya terasa membeku. Jelihim hanya
mengatur pernafasan. Terus berjuang melawan kedinginan. Menjelang
pagi, sumsum terasa semakin berat. Jelihim kembali menggeretak. Kulitnya terasa
tebal dan mati rasa.
Sampai saat kekuatan
panas dari ubun-ubunnya mengaliri setiap sarap di tubuhnya. Jelihim memberanikan
membuka mata. Kaki belang-belang itu di depan mukanya. Orang gila itu duduk di
atas kepalanya. Jelihim menggerutu. Tapi kekuatan apa yang mampu memghangatkan
air beku ini.
Tak lama. Orang gila itu menghilang.
Kurang lebih empat puluh kali Jelihim melihat
Matahari di atas kepalanya. Dia masih saja tak mampu meninggalkan telaga. Panas
kepanasan, dingin kedinginan. Kadang laki-laki tua itu muncul lagi ketika
matahari menyegat kulit. Mengalirkan tenaga dingin beku ke ubun-ubun Jelihim.
Saat itu mungin pada hari ke tiga belas. Jelihim menyadari sebuah perubahan pada dirinya. Dia tak lagi berlapar-lapar
saja karena ada buah teratai yang dapat dilahapnya. Sekalipun kakinya masih
terasa lumpuh. Tapi kekuatan panas dan dingin itu benar-benar berguna. Hari ke
dua puluh Jelihim mampu menguasai kekuatan baru itu. Dia mampu membuat ikan di
sekitarnya mengapung dan masak dengan menaikkan sedikit suhu tubuhnya.
Saat itulah sebuah
tendangan mengenai dadanya. "Saat ini kau hanya boleh makan dari
tanganmu." Lalu
bayangan itu begitu silap.
Sampai hari ke empat puluh satu. Dia dia diperintahkan naik ke atas. Kelumpuhannya selama ini hilang. Dan
orang tua itu berlalu saja.
"Bapak
tua," tahan Jelihim
Orang itu berlalu
saja. Kaki belangnya melangkah menjauh. Jelihim mengejar. "Kau tunggu saja
di sana."
Jelihim terdiam.
"Apa yang harus ditunggu?" pikirnya. "Ketidakpastian?". Dia
ingin mengejar. Dengan kekuatan baru yang dirasakannya saat ini tubuhnya terasa
lebih ringan. Dia yakin mampu mengejar.
"Tidak,"
Pikirnya dalam hati. Harus belajar mempercayai orang. Jelihim tak meninggalkan
tempat ini.
Hari keempat penantiannya, orang aneh itu
kembali dihadapannya. Duduk bersilah. "Siapa namamu, Beruk? Jelihim,
Bapak. Mengapa sampai disini? Tak tahu, Bapak. Setahu saya hanya padang rumput
tak tampak tepi. Tahu-tahu saya terendam di telaga itu. Dan kalau boleh
tahu tempat apakah ini, Bapak? Mengapa kau yang bertanya, tapi tak apa tak ada
larangan untuk itu disini. Inilah padang datar.
Jelihim tercengang. Padang datar ? Setahunya
padang datar hanya sebuah tempat di dongeng-dongeng dalam kitab Ninek Gumbak
Panjang. Dimana semua ilmu pengetahuan terkumpul.
Hormat saya, Bapak. Hua ha ha, Jelihim ternyata
kau tetap seperti Beruk. Beruk pun tak butuh pakai penghormatan-penghormatan.
Apalagi kau memberikan itu setelah kau tahu sesuatu di sini, kan? Maafkan saya,
Bapak. Lalu seperti apa layaknya saya memanggilmu, Bapak? Panggil
aku Belang Kaki? Izinkan saya memanggilmu guru. Ha, ha, ha sudah lama aku tak
dipanggil guru. Tidak, ha ha ha,... sebentar, Guru ? Guru? Guru Belang Kaki,...
ya boleh kau panggil aku begitu. Sekalipun, belum tentu kau kuajarkan sesuatu.
Kau belajar sendiri di sini. Di telaga. Atau rumput yang bergoyang. Terima
kasih Guru ? Guru ?!!! Guru Belang kaki, tahu ?! I,... iya Guru Belang kaki.
Jelihim memberi
hormat lagi.
Begitulah
seterusnya. Hari-hari Jelihim diisi dengan mempelajari falsafi air, atau apa
saja di padang datar. Mengupas kitab Ninek Gumbak Panjang yang merupakan
sumber ilmu siasat dan terkaan terhadap yang akan terjadi. Mengupas pula
Belalang Kerta Gambir. Belajar pencak, berlatih silat. Bersemadi. Berlatih
mengumpulkan tenaga panas dan dingin di pusarnya. Mengeluarkannya pula dan
mengendalikannya.
Jelihim mematangkan
sastra surat ulunya. Dari Guru Belang kaki dia mendapat ilmu memintal dan
menenun. Mereka berkebun juga untuk kebutuhan sehari-hari. Gurunya tak
mengajarkan untuk memakan sesuatu yang bukan hasil kerja tangannya.
"Janganlah kau terlalu suka mengumpulkan kesenangan, kekayaan."
"Mengapa, Guru
Belang Kaki?"
"Saat yang sama
kau juga telah menumpukkan kemiskinan dan penderitaan bagi orang lain."
"Tidak Guru.
Karena hanya aku sanggup makan hingga kenyang saja. Aku hanya mampu memiliki
pakaian sampai rusak. Tak ada lagi yang berhak kumiliki."
"Kau berasal
dari kelompok aneh, Jelihim. Kau bukan dari kelompok tertindas, bukan pula
penindas."
"Penindasan itu
di depan mata saya, Guru Belang Kaki."
"Kau
melihatnya. Maka derake bagimu jika kau membiarkannya."
"Mudah-mudahan
tidak, Guru Belang Kaki."
"Semestinya
Jelihim. Karena kau mempunyai ilmu yang bisa dibagi untuk pembebasan."
"Lalu Guru
Belang Kaki sendiri ?" Tanya Jelihim.
"Ha ha ha,
pertanyaanmu menyindir sekali Jelihim, ha ha ha"
"Maaf, Guru
Belang Kaki."
"Tak apa
Jelihim. Inilah bagian dari hidup. Aku mengambil peran ini. Doakan aku mampu
menjalani peran ini dalam mendukung gerakanmu. Aku hanya mampu menulis
kitab-kitab dan membagikan sedikit isi kepalaku."
"Kalaulah aku tak mampu lagi bergerak tanpa
kitab Guru Belang Kaki ?"
"Maka kau
percayakan pada nurani. Dia
akan menggiring jalannya perang yang kau jalankan."
* * *
0 komentar:
Post a Comment