Wednesday, April 24, 2013

(3)Berguru ke Padang Datar, Syam Asinar Radjam



Jelihim minggat. Sejak tiga hari ini Tak muncul di perguruan tulis baca yang diasuh guru-guru bayaran penguasa negeri. Kawan-kawannya mencemooh 'kebodohan' itu.
Guru-guru mengajarkan tulis baca surat ulu. Mengajari mengeja kitab-kitab yang tak terbaca mata hati Jelihim. Terjadi di sini pemindahan pengetahuan dan keterampilan hasil ceplakan yang tak menyentuh talang, kute, marga dan Negeri. Guru-guru seperti orang-orangan pengusir burung di ume yang menunjukkan pengetahuan yang diceplak oleh pembesar negeri bidang keilmuan dari kitab-kitab tak dikenal di luar. Dibiakkan di dalam negeri begitu saja.
Jelihim minggat.
"Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah,"
Kawan-kawannya mencemooh,...
Setiap tempat adalah sumber ilmu. Pergi begitu saja, berguru dengan alam ke padang datar.
"Pengalaman adalah guru terbaik, karena bayaran guru mahal,..." Canda Jelihim kepada kawan-kawannya.
Muak dengan keseharian mencatat dan menghapus batu sabak. Menghapus isi kepala berisi kederhanaan. Menghapus kenyataan di gerbang perguruan terdapat peminta-minta, bertebaran mereka yang tak mampu masuk, dan terpaksa menjadi penjahat tak terbagi pengetahuan dan kesempatan. Walah, di dalam pun orang-orang dilatih menjadi penjahat. Bau pantat dimuka guru.
Masuk ke sarang pengetahuan dijadikan tujuan utama. Bukanlah sebuah perjalanan pengikisan kekentalan perseberangan derajat. Orang-orang mencari 'laba' dengan modal yang ditanamkan di pada pendidikan. Murid terlatih menabung nilai di saku guru-guru, dengan kehadiran tanpa penghayatan dan penghormatan palsu. Orang-orang menjadi tergantung bukan karena mencari ilmu adalah tugas hidup. Hanya alasan laba rugi bak perniagaan. Orang-orang dibodohi tujuan mencerdaskan kehidupan negeri.
Hanyalah lingkaran setan di perguruan macam ini. Orang-orang bertujuan mencapai cita-cita menjadi pengawal penguasa negeri, bukan untuk kepentingan orang lain. Asal untuk tidak kelaparan, memeras pun halal. Lingkaran setan menghasilkan orang-orang berkedudukan, berkecukupan dan mampu menjadikan keturunan di perguruan-perguruan ternama. Dan Talang tetap tak ada perubahan.
Orang miskin tak mampu menginjak perguruan. Orang muda desa tak mampu belajar di kute, Tak mampu menyuap menjadi pengawal pembesar.Walah,..orang-orang berilmu diharapkan mampu menuntaskan perseberangan ini, mampu menuntaskan kemiskinan. Padahal tak ada yang mampu menarik benang merah antara keduanya.
Orang-orang muda di talang-talang tersesat pada keputus-asaan berkepanjangan, tak berdaya dengan tingginya biaya berguru. Sekalipun sempat mencicipi belajar di perguruan, kenyataan di kute tak ada peluang bagi mereka mengabdikan ilmu. Sungguh telah tertolong bangsa priyayi yang sekarang memerintah merebut kekuasaan.
Oh, semua menjadi ajang pemaksaan saja. Pencucian otak, penghancuran nilai kemanusiaan. Betapa manusia adalah mahluk membingungkan. Semua nilai dikurbankan demi kebendaan.
Makanya Jelihim minggat. Mengembara, berguru kepada angin yang bertiup, pada matahari yang setia, tak pernah tenggelam, pada bintang benderang sekalipun tau yang dilihatnya bukanlah bintang, hanya sebuah cahaya dari benda bergerak cepat yang tertangkap mata lemahnya dalam jarak begitu jauh. Jelihim mengembara setelah berpamit ke Siamak, Rieayu, dua orang tua yang besedingan.
* * *
Pengembaraan begitu melelahkan, belajar pada mata air, belajar pada petani tentang bertanam tanpa harus menikmati panen.
Akhirnya pengembaraan berhenti sebentar. Jelihim bertemu guru belang kaki. "Tak ada yang dapat kuberikan padamu Jelihim. Bisa taring raja harimau memenuhi isi darahmu. Bersilat hanya melatihmu membunuh,"
"kalaulah itu diniatkan untuk membunuh, Guru." Jawab Jelihim.
"Nah, ternyata kau lebih bijak daripadaku."
Di sela berlatih silat, memainkan selendang sampang due belas,...
"...Apa guna kita memiliki sekian banyak pemuda dari pondok-pondok berisi ilmu yang cerdas. Tetapi rakyat dibiarkan bodoh. Segeralah kaum pintar itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan kepintaran mereka," Lalu suara itu menghilang guru belang kaki itu lenyap. Meninggalkan Jelihim di padang datar.
Jelihim terduduk. Entah mau menangis atau apa dalam perpisahan tak terduga itu. Menangis pun untuk siapa ?
* * *
Jelihim tepekur saja dua hari setelah berpisah dengan Belang Kaki. Dia mencoba menggabungkan gambar-gambar dikepalanya yang panjang dan menghubungkan ke peristiwa pertemuan mereka.
Matahari begitulah, dimusim pancaroba. Tak Jelas dingin panasnya. Hanya dia mendapat kesialan hari ini. Pengembaraannya menghantarkan raganya ke padang tak tampak tepian. Datar saja. Tak jelas arah bau mata air. Tiga hari jelihim dalam kehausan hebat. Jangankan mandi. Dia menghisapi keringatnya sendiri.
Malam dingin dan panas siang menghantam tubuhnya. Bibirnya membiru, memutih dan pecah. Matanya membengkak saja. Debu begitu menyukai sisa kelembaban di mata Jelihim sepertinya. Ya, tak ada lagi kelembaban lain. Burung mayat di atas kepala berputar-putar dengan nyanyian kematian. Hanyalah rundungan kemalangankah yang pantas dinikmati seorang tak menerima kemapanan.
Menjelang sore. Ya, menjelang sore kalau tidak salah. Tapi jelihim masih berjalan. Dia masih dapat merasakan selang waktu pertukaran ujung tumit kiri dan kanan bergantian melangkah pelan. Menjejak di rumput gersang. Langkahnya mulai amat pelan. Tumit terasa semakin menebal, perih. Tak ada sisa nasi diperutnya, hanya kemauannya menggerakkan kedua kaki. "Bukan takut mati, tapi mengapa harus mati dulu," Jelihim berkata sendiri.
Matanya yang tertutup debu masih bersinar. Matahari semakin jauh. Dia menikmati kepergian matahari darinya. Oh, tak tahu Jelihim sedang mengejarnya. Hanya sisa-sisa larik jingga di ujung dataran tak nampak tepi. Selebih itu dia tak tahu seiring gelapnya dunia, terseret ke kegelapan yang lebih hitam. Jelihim terjatuh.
"Hei, bangun Beruk!" Suara itu bukan teriakan. Jelihim menggerak-gerakkan pelupuk matanya.
Setengah sadar Jelihim merasakan dadanya bergetar dengan bisikan pelan itu. Bergetar tapi tak sakit. Jelihim membuka mata.
Oh, tersadar dia di tengah genangan air, mungkin danau. Sebatas dadanya jika duduk.
"Nah, nah, nah Berukku sudah bangun." Dada Jelihim bergetar lagi. Matanya mencari-cari arah suara itu. Walah, seorang tua bangkotan di tepi danau berjingkrak aneh. Manusia gila, pikir Jelihim. Kakinya seperti berselaput lagi, berwarna coklat belang putih.
Berjingkrak untuk apa? Kening Jelihim berkerut rapat. Dia mendengar nyanyian untuk seorang beruk. Ya, seorang bukan seekor.
Sayup-sayup, terdengar genjer-genjer beruk di genjer, tercelup berhari-hari jadi beser, seorang beruk pemalas berendam saja, tak tau malu tak ada mau,...Dengan nada tak tentu. Tak teratur.
Jelihim berhasrat naik dari danau. Mendekati orang gila belang kaki itu. Setidaknya dia bertanya sesuatu tentang yang tak diketahuinya sampai di tempat ini. Jelihim coba menggerakkan sendi kaki.
"Eh, Beruk. Mandimu belum usai." Orang-tua berjingkrak itu berkata Ke Jelihim.
"Bangsat, berarti Beruk itu Saya," Jelihim memaki seribu bahasa.
"Habiskan makimu. Supaya kau bisa berkata baik besok, ha ha ha,..Tapi usaikan mandimu. Tubuhmu kotor dan menjijikkan. Mundur tiga langkah. Sudah tiga hari kau di sana saja. Tak baik air keruh untuk tubuhmu Beruk."
Jelihim terhenyak, telah tiga hari dia mendekam di lumpur ini. Jelihim mencoba menatap matanya. Walah, mata itu begitu menakutkan, mencorong seperti bola api.
Orang gila itu lebih terkejut lagi menatap mata Jelihim. Ya, Jagat raya. Matahari ternyata dua. Lalu dia berjingkrak-jingkrak seperti bocah menerima mainan baru. "Matahari ada dua, matahari ada dua, Emak,..."
"Gila," Bisik Jelihim.
"Eh, Kau jadi lupa untuk mundur."
Jelihim tak mampu menggerakkkan kakinya. Seolah terpaku di lumpur. Sekalipun mampu tak akan dia menuruti kemauan orang itu. Dia sudah cukup kebasahan disini. Dia mau pergi melanjutkan pengembaraannya.
"Masih tak mau mundur juga. Biar aku paksa!" Orang gila itu melambaikan tangannya.
Lalu tubuh Jelihim diserang angin keras yang dingin. Tubuhnya tambah menggigil. Terlempar sepuluh depa ke belakang. Jelihim tergagap. Kedalaman air di tempat barunya menyambut ganas. Tubuhnya meluncur saja ke bawah.
"Selamat datang, wahai ajal," bisik Jelihim.
Dia tak mampu menggerakkan apa-apa. Tubuhnya meluncur lurus. Hanya dia mampu menahan nafas saja. Gelembung-gelembung udara kecil meluncur berbalik arah dengan luncuran Jelihim.
"Bange (goblok) sudah kubilang tiga langkah saja, ha ha ha,...suara itu merambat di dalam air.
Jelihim memaki dalam hati. Sementara tubuhnya terus ke arah bawah tak tentu batas. Jelihim memejamkan matanya menyambut sang ajal. Belum pernah sekali dia sepasrah ini.
Lalu dia merasa rambutnya di tarik dari atas. Jelihim membuka mata. Hanya kaki yang terlihat. Kaki berbelang-belang. Teringat dia itu orang gila di atas tadi. Secepat kilat mereka tiba di atas awang-awang. Hanya riak air dan luapan yang meninggi dilihat Jelihim di atas permukaan danau. Lalu tubuhnya terlempar lagi ke air, ke kira-kira tiga langkah dari tempatnya semula.
Jelihim menggigil kedinginan. Rahangnya menggeretak. Sampai malam datang lagi. Sumsumnya terasa membeku. Jelihim hanya mengatur pernafasan. Terus berjuang melawan kedinginan. Menjelang pagi, sumsum terasa semakin berat. Jelihim kembali menggeretak. Kulitnya terasa tebal dan mati rasa.
Sampai saat kekuatan panas dari ubun-ubunnya mengaliri setiap sarap di tubuhnya. Jelihim memberanikan membuka mata. Kaki belang-belang itu di depan mukanya. Orang gila itu duduk di atas kepalanya. Jelihim menggerutu. Tapi kekuatan apa yang mampu memghangatkan air beku ini.
Tak lama. Orang gila itu menghilang.
Kurang lebih empat puluh kali Jelihim melihat Matahari di atas kepalanya. Dia masih saja tak mampu meninggalkan telaga. Panas kepanasan, dingin kedinginan. Kadang laki-laki tua itu muncul lagi ketika matahari menyegat kulit. Mengalirkan tenaga dingin beku ke ubun-ubun Jelihim.
Saat itu mungin pada hari ke tiga belas. Jelihim menyadari sebuah perubahan pada dirinya. Dia tak lagi berlapar-lapar saja karena ada buah teratai yang dapat dilahapnya. Sekalipun kakinya masih terasa lumpuh. Tapi kekuatan panas dan dingin itu benar-benar berguna. Hari ke dua puluh Jelihim mampu menguasai kekuatan baru itu. Dia mampu membuat ikan di sekitarnya mengapung dan masak dengan menaikkan sedikit suhu tubuhnya.
Saat itulah sebuah tendangan mengenai dadanya. "Saat ini kau hanya boleh makan dari tanganmu." Lalu bayangan itu begitu silap.
Sampai hari ke empat puluh satu. Dia dia diperintahkan naik ke atas. Kelumpuhannya selama ini hilang. Dan orang tua itu berlalu saja.
"Bapak tua," tahan Jelihim
Orang itu berlalu saja. Kaki belangnya melangkah menjauh. Jelihim mengejar. "Kau tunggu saja di sana."
Jelihim terdiam. "Apa yang harus ditunggu?" pikirnya. "Ketidakpastian?". Dia ingin mengejar. Dengan kekuatan baru yang dirasakannya saat ini tubuhnya terasa lebih ringan. Dia yakin mampu mengejar.
"Tidak," Pikirnya dalam hati. Harus belajar mempercayai orang. Jelihim tak meninggalkan tempat ini.
Hari keempat penantiannya, orang aneh itu kembali dihadapannya. Duduk bersilah. "Siapa namamu, Beruk? Jelihim, Bapak. Mengapa sampai disini? Tak tahu, Bapak. Setahu saya hanya padang rumput tak tampak tepi. Tahu-tahu saya terendam di telaga itu. Dan kalau boleh tahu tempat apakah ini, Bapak? Mengapa kau yang bertanya, tapi tak apa tak ada larangan untuk itu disini. Inilah padang datar.
Jelihim tercengang. Padang datar ? Setahunya padang datar hanya sebuah tempat di dongeng-dongeng dalam kitab Ninek Gumbak Panjang. Dimana semua ilmu pengetahuan terkumpul.
Hormat saya, Bapak. Hua ha ha, Jelihim ternyata kau tetap seperti Beruk. Beruk pun tak butuh pakai penghormatan-penghormatan. Apalagi kau memberikan itu setelah kau tahu sesuatu di sini, kan? Maafkan saya, Bapak. Lalu seperti apa layaknya saya memanggilmu, Bapak? Panggil aku Belang Kaki? Izinkan saya memanggilmu guru. Ha, ha, ha sudah lama aku tak dipanggil guru. Tidak, ha ha ha,... sebentar, Guru ? Guru? Guru Belang Kaki,... ya boleh kau panggil aku begitu. Sekalipun, belum tentu kau kuajarkan sesuatu. Kau belajar sendiri di sini. Di telaga. Atau rumput yang bergoyang. Terima kasih Guru ? Guru ?!!! Guru Belang kaki, tahu ?! I,... iya Guru Belang kaki.
Jelihim memberi hormat lagi.
Begitulah seterusnya. Hari-hari Jelihim diisi dengan mempelajari falsafi air, atau apa saja di padang datar. Mengupas kitab Ninek Gumbak Panjang yang merupakan sumber ilmu siasat dan terkaan terhadap yang akan terjadi. Mengupas pula Belalang Kerta Gambir. Belajar pencak, berlatih silat. Bersemadi. Berlatih mengumpulkan tenaga panas dan dingin di pusarnya. Mengeluarkannya pula dan mengendalikannya.
Jelihim mematangkan sastra surat ulunya. Dari Guru Belang kaki dia mendapat ilmu memintal dan menenun. Mereka berkebun juga untuk kebutuhan sehari-hari. Gurunya tak mengajarkan untuk memakan sesuatu yang bukan hasil kerja tangannya. "Janganlah kau terlalu suka mengumpulkan kesenangan, kekayaan."
"Mengapa, Guru Belang Kaki?"
"Saat yang sama kau juga telah menumpukkan kemiskinan dan penderitaan bagi orang lain."
"Tidak Guru. Karena hanya aku sanggup makan hingga kenyang saja. Aku hanya mampu memiliki pakaian sampai rusak. Tak ada lagi yang berhak kumiliki."
"Kau berasal dari kelompok aneh, Jelihim. Kau bukan dari kelompok tertindas, bukan pula penindas."
"Penindasan itu di depan mata saya, Guru Belang Kaki."
"Kau melihatnya. Maka derake bagimu jika kau membiarkannya."
"Mudah-mudahan tidak, Guru Belang Kaki."
"Semestinya Jelihim. Karena kau mempunyai ilmu yang bisa dibagi untuk pembebasan."
"Lalu Guru Belang Kaki sendiri ?" Tanya Jelihim.
"Ha ha ha, pertanyaanmu menyindir sekali Jelihim, ha ha ha"
"Maaf, Guru Belang Kaki."
"Tak apa Jelihim. Inilah bagian dari hidup. Aku mengambil peran ini. Doakan aku mampu menjalani peran ini dalam mendukung gerakanmu. Aku hanya mampu menulis kitab-kitab dan membagikan sedikit isi kepalaku."
"Kalaulah aku tak mampu lagi bergerak tanpa kitab Guru Belang Kaki ?"
"Maka kau percayakan pada nurani. Dia akan menggiring jalannya perang yang kau jalankan."
* * *

0 komentar: