Dua betina di
atas telaga, jentera bianglala masih terukir lengkung. Selengkung busur
soratama. Dua mata dibalik aur berduri pasat memandang terpesona. Betina
peri yang muda menyisiri betina peri yang tua. Tempurung biuku menyusuri
setiap lembaran panjang rambut ibu peri.
Telaga tersapu
bianglala. Sore itu peri mandi. Geletar urat geli Jelihim mengacaukan nafas.
Sinar matahari, desah angin mengkilatkan air meriakkan kecipak katak menjadi
besar. Duhai, siapakah betina begitu indah,…?
Tak lama rambut
peri tua telah terikat rapi, dibalut kerudung sutra lembut. Telah lama selesai
mandi, betina peri tua melangkah melintasi bianglala. Melesat pelan ke balik
mega.
Angin lebih
keras terasa mendekat. Angin dengan uap panas. Dua betina itu diam saja.
Jelihim menangkap gerakan angin itu. Kekuatan besar milik Rentasan, jejaka
penguasa tujuh kute di selatan.
Kekuatan itu
berhenti di semak rukam, Sepasang mata merah bekas bau tuak menatap
pemandangan indah itu.
Dang betina
peri muda melangkah ke telaga. Aroma telaga bertebaran bunga melur. Dua
jejaka bersembunyi termabuk keindahan. Gerakan di bawah air sedikit tampak
menggelegakkan nafas Rentasan. Jejaka itu melesat ke telaga.
"Duhai,
siapa demikian jelita sampai masuk ke kawasan kekuasaanku? Wajarlah kiranya
jika ku harus tahu namamu, duhai tamuku,…" Rentasan memandang lekat ke
Betina di telaga.
Betina itu
mempercepat mandinya, dan naik ke atas darat. "Siapapun kiranya Tuan, tak
pantaslah jika sampai mengganggu perempuan mandi," Ucap betina itu pelan
tapi tegas.
"Apakah salah jika aku cuma ingin
berkenalan?" Rentasan menebar senyum di sela
kalimatnya. "Sebenarnya aku juga tahu sedikit kesopanan, tapi hasrat
begitu kuat. Tak kuat kutahan keinginan berkenalan,…Apalagi dengan perawan
demikian rupawan." Tak tahan Rentasan merasakan kehalusan jemari betina di
hadapannya. Sampailah Rentasan mengulurkan tangan, "Namaku Rentasan.
Penguasa tunggal tempatmu mandi ini,…"
"Namaku
Redendam," Jawab sang betina tanpa mengulurkan tangan. "gadis
tersasar yang sekedar numpang membersihkan diri."
"Ooh,
sendirikah Dikau, Adinda Redendam ? Aku berharap kau tak menolak jika kuajak
singgah ke istanaku. Aku menyukai matamu, seperti sepasang bintang kejora, tak
ada bandingnya. Hanya satu kejora di langit. Kau memiliki dua. Kecantikan sukar
ditara. Kebetulan aku sedang mencari pasangan. Jika kau bersedia aku akan
segera meminangmu."
Rentasan mulai
berani meraih tangan betina Redendam.
"Maaf, aku
tak suka dengan caramu, Anak Manusia. Aku harus segera pergi," Nada betina
terdengar layaknya orang yang terganggu saat-saat indahnya.
Peri muda
melesat pergi dengan muka sedikit kesal. Rentasan pergi dengan ketersinggungan.
Belum pernah rayuannya tak mempan di gadis di muka bumi. Oh, Rentasan,… Buluh
perindu-mu mandul. Peri muda melangkah ke bianglala yang mulai pudar.
Jelihim tertinggal di semak aur berduri.
Terpaku mabuk harum melur. Duhai, wangimu harum bayi. Jejaka penjudi itu tetap terpaku. Khayal menerawang jauh. Kilatan matahari
di atas telaga. Kilatan lembut sutera basah. sosok itu begitu indah. Tulang
bahu begitu simetris. Tak ada lemak berlebih, bisa digolongkan kurus malah.
Tapi begitu menarik. Begitu merangsang. Betapa tulang lebih terlihat menggiurkan
dibanding daging.
Bianglala semakin memudar. Ujungnya
meninggalkan tanah.
Jelihim melesat menyambar sumber kilatan.
Serangga air tak berhenti berbunyi, katak masih menunggu lalat, tak ada
kecipak. Begitu tinggi ilmu meringan tubuh jejaka yang diakui sebagai penguasa
tujuh kute di selatan Muara Cawang.
"Hei, tunggu!"
Jelihim menangkap ujung pudar bianglala. Betina di atasnya menoleh dengan rupa kesal, "Mengapa lagi?!" Dia
menyangka jejaka genit di atas telaga mengganggunya lagi.
"Maaf jika
aku mengganggumu, Wahai Perempuan. Tapi apakah kau ketinggalan sesuatu."
Betina itu
tersadar yang datang ternyata lelaki lain. Bukan lelaki yang tadi
mengganggunya. Keangkuhan melarangnya meminta maaf. "Tidak, tak ada yang
tertinggal."
"Ya sudah,
berarti selendang ini bukan milikmu. Maaf, selamat tinggal," Jelihim
pura-pura hendak pergi.
Betina di
bianglala terkesiap. "Hei, kau bilang selendang?" Lalu dia meraba
lehernya sigap. "Iya, selendangku tertinggal. Maafkan atas kekasaranku
tadi."
Warna muka
Jelihim tak berubah. "Tapi Aku rasa kau tak begitu butuh," Tidak juga
ternyata. Warna
muka Jelihim ditoreh sedikit rasa iseng. "selammm,……mat,..ting,…."
Tinggal jari telunjuk dan ibu jari Jelihim memegang ujung bianglala.
"Eii,
jangan pergi dulu. Benar-benar aku minta maaf. Selendang itu pemberian ibu
periku,…tolong berikan padaku. Begitu berharga bagiku." Ujung lentik
jari-jari Betina peri menangkap jemari Jelihim.
Jelihim
meloncat ke atas bianglala. Akibat hentakan tenaga betina ditambah tenaga
bujangan sakti itu sendiri.
"Aaaah,… " Begitu kuat lonjakan
tadi. Jelihim berhasil menjejak ke bianglala. Si Betina terhempas ke luar sisi bianglala. Jemari mereka terlepas. Tubuh ramping
melayang di atas awang-awang. "TENANG!" Teriak si Bujangan.
Tubuh Jelihim melesat. Tubuh jatuh itu
begitu cepat meluncur. Jelihim menambah kecepatannya. Meloncat dari mega-mega.
Tinggal sedikit lagi, jemari lentik itu sampai. Tapi kecepatan jatuhnya semakin
cepat. Keringat Jelihim jatuh perbutir. Tubuh kuyuhnya basah peluh.
Jelihim mempercepat lesatannya. Gadis itu
semakin dekat ke bumi. Bayangannya jatuh di telaga. Serangga darat berhenti
berbunyi. Semua sepi. Belido bersembunyi di balik-balik purun.
Angin seolah diam.
Jelihim berdoa dalam rupa cemas. Menyesal
seumur hidup jika dia tak mampu menyelamatkan betina itu. Entah kenapa kesan
pertama begitu menggoda, bukan karena itu saja. Setidaknya dia turut
menyebabkan gadis itu jatuh,…dan mati.
"Aaaah! TIDAK!!!" Teriakan Jelihim mengacaukan telaga. Ikan-ikan berlompatan. Air beriak
keras, telaga tenang tiba-tiba bergelombang. Ada sesuatu di hatinya yang rentan
pecah. Jelihim merasa sesak di dadanya.
Tak ada
harapan. Betina itu sebatang pinang sepuluh tahun dari tanah. Jelihim terus
mempercepat laju.
Burung-burung berhenti terbang. Hinggap di
atas pohon-pohon tepi telaga.
Gadis itu seolah pingsan. Diam. Tak ada
yang bisa berharap. Tak juga ada yang mampu menolong.
Tubuh itu akan remuk dalam waktu tak lama lagi. Umban. Luluh,… lantak.
Jelihim terus
menambah kekuatannya. Tak bisa semakin cepat dia melesat, tubuh lepas itu
bertambah pula kecepatannya. Gaya tarik bumi menyedotnya.
Jelihim pun tak
mampu berharap.
Selendang di
pinggang betina itu tiba-tiba berkibar. Arah jatuhnya membelok. Melengkung setengah
cakrawala. Gerakan itu begitu indah. Burung-burung diam teriri. Diiringi
tawa-tawa kecil. Betina itu menari di udara. Berputar dari mega ke mega
tak secepat Jelihim memang. Pipit, cucakrawa yang tadi terdiam bersorak kagum.
Tarian itu begitu indah. Awan mengganti-ganti rupa. Bentuk biri-biri putih,
kereta kencana dengan empat kuda, atau kapas-kapas putih kecil, jagung beheteh.
Tertinggal Jelihim dalam kekesalan.
Bujangan itu merasa dipermainkan. Tapi tawa kecil keluar dari mulutnya. "Sial, kubalas kali lain!" Teriaknya ke betina penari di mega.
Betina itu
tertawa saja. Pemandangan di langit begitu indah. Dada jelihim bergeletar.
Belum dia pernah melihat betina serupawan ini. Rona merahnya tertimpa mentari
sore yang tak tega menyentuh kulit mulus sang betina.
"Hei,
bianglala hampir habis!" Jelihim cemas mengingatkan.
Akhirnya betina
rupawan berhenti menari. Berusaha mengejar ujung bianglala. Jelihim melesat
cepat. Menyambar tubuh ramping. Dalam terbang Jelihim berkata, "Maaf
bila ku tak sopan." Getarannya begitu lembut. Oh, pikir si Betina. Asmaramu di bicaramu, bujangan.
Cinta tertebar
di intonasi si Bujangan.
Jelihim
menyambar ujung bianglala. Mereka berdekapan di tujuh warna. "Terima
kasih, namaku Redendam. Bolehkah ku tahu namamu ?"
"Jelihim.
Kau bisa panggil aku Kawan Jelihim." Mata mereka bertemu. "Ufh, maaf
aku cuma mau memulangkan selendangmu. Begitu berarti sepertinya," Jelihim
tersadar.
"Apakah
aku harus berterima kasih lagi, persediaan terima kasihku tak banyak,"
Betina itu
tertawa kecil setelah ucapan terakhirnya sendiri.
"Tak perlu
berterima kasih. Toh, tak bisa tak bisa ditukar sekulak beras,"
Jelihim membalas.
Keduanya
tertawa.
"Bolehkah
aku berterus terang, duhai Redendam ?" Ucap Jelihim pelan. Gadis itu
menganggukkan.
"Aku cuma
mau minta maaf sempat memperhatikanmu dan ibu perimu di telaga tadi,
eee,…."Ucapan itu putus. Cuma terucap di hati. Tapi rendendam membacanya, eh,…aku
mencintaimu karena kau mencintai ibumu.
Keduanya terdiam. Jelihim tak kuasa menahan
hatinya. Getaran Betina itu pun begitu kuat. Bumi langit guncang. Sudahlah,
anak manusia. Buang mimpimu pada perempuan langit. Tak ada kata-kata. Cuma
bayangan di sengeng. Siluet tubuh berdekatan. Wajah mereka
menyatu.
"Maafkan
aku, aku harus pergi, " Suara berat jelihim menyadarkan.
Ada desah
tertahan milik Betina.
Tapi Jelihim
sudah berlompatan di mega-mega.
"Aku tunggu setiap sore di telaga,"
Bisik sakti Redendam dari jauh.
Jelihim menoleh sebentar. Cuma bentuk hitam
seorang betina dengan latar oranye di ujung langit. Nyawamu dan nyawaku
dijodohkan di langit, dan anak kita akan lahir di cakrawala. Adapun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.10
Di bawah, dua
pasang mata Rentasan yang rupanya belum pergi berlumur kebencian karena
peristiwa tadi.
* * *
Si Betina
selalu menunggu di tepi telaga. Sendirian. Dan Jelihim tak pernah muncul.
Menghabiskan waktu di lapak taruh. Tapi jangan cari Jelihim di satu lapak
taruh, Jelihim hanyalah petaruh berpindah. Jelihim tak pernah menang, tak juga
pernah kalah. Dari hikmah dari pertaruhan macam itu didebatkannya kepada
kawan-kawan penjudi lainnya. Dan ajaklah mereka berdebat dengan cara
sebaik-baiknya 11
"Ada judi
lain yang lebih besar, kawan-kawan. Tentulah taruhannya besar pula. Bagaimana
menaruhkan hak dan martabat diri terhadap penguasaan musuh di kute di
utara." Sambil berjudi Jelihim membangun kekuatan dengan mencoba menyadarkan
kawan-kawannya. Jelihim masih meragukan betinanya.
Si Betina
menunggui di tepi telaga. Berpantun, Uji dengan aku dek ngandang, ngandang
pedare lelayuan, uji pedengan aku dek ribang, ribang ketare kemaluan,…
* * *
0 komentar:
Post a Comment