Wednesday, April 24, 2013

(4)Smaradana, Syam Asinar Radjam


Dua betina di atas telaga, jentera bianglala masih terukir lengkung. Selengkung busur soratama. Dua mata dibalik aur berduri pasat memandang terpesona. Betina peri yang muda menyisiri betina peri yang tua. Tempurung biuku menyusuri setiap lembaran panjang rambut ibu peri.
Telaga tersapu bianglala. Sore itu peri mandi. Geletar urat geli Jelihim mengacaukan nafas. Sinar matahari, desah angin mengkilatkan air meriakkan kecipak katak menjadi besar. Duhai, siapakah betina begitu indah,…?
Tak lama rambut peri tua telah terikat rapi, dibalut kerudung sutra lembut. Telah lama selesai mandi, betina peri tua melangkah melintasi bianglala. Melesat pelan ke balik mega.
Angin lebih keras terasa mendekat. Angin dengan uap panas. Dua betina itu diam saja. Jelihim menangkap gerakan angin itu. Kekuatan besar milik Rentasan, jejaka penguasa tujuh kute di selatan.
Kekuatan itu berhenti di semak rukam, Sepasang mata merah bekas bau tuak menatap pemandangan indah itu.
Dang betina peri muda melangkah ke telaga. Aroma telaga bertebaran bunga melur. Dua jejaka bersembunyi termabuk keindahan. Gerakan di bawah air sedikit tampak menggelegakkan nafas Rentasan. Jejaka itu melesat ke telaga.
"Duhai, siapa demikian jelita sampai masuk ke kawasan kekuasaanku? Wajarlah kiranya jika ku harus tahu namamu, duhai tamuku,…" Rentasan memandang lekat ke Betina di telaga.
Betina itu mempercepat mandinya, dan naik ke atas darat. "Siapapun kiranya Tuan, tak pantaslah jika sampai mengganggu perempuan mandi," Ucap betina itu pelan tapi tegas.
"Apakah salah jika aku cuma ingin berkenalan?" Rentasan menebar senyum di sela kalimatnya. "Sebenarnya aku juga tahu sedikit kesopanan, tapi hasrat begitu kuat. Tak kuat kutahan keinginan berkenalan,…Apalagi dengan perawan demikian rupawan." Tak tahan Rentasan merasakan kehalusan jemari betina di hadapannya. Sampailah Rentasan mengulurkan tangan, "Namaku Rentasan. Penguasa tunggal tempatmu mandi ini,…"
"Namaku Redendam," Jawab sang betina tanpa mengulurkan tangan. "gadis tersasar yang sekedar numpang membersihkan diri."
"Ooh, sendirikah Dikau, Adinda Redendam ? Aku berharap kau tak menolak jika kuajak singgah ke istanaku. Aku menyukai matamu, seperti sepasang bintang kejora, tak ada bandingnya. Hanya satu kejora di langit. Kau memiliki dua. Kecantikan sukar ditara. Kebetulan aku sedang mencari pasangan. Jika kau bersedia aku akan segera meminangmu."
Rentasan mulai berani meraih tangan betina Redendam.
"Maaf, aku tak suka dengan caramu, Anak Manusia. Aku harus segera pergi," Nada betina terdengar layaknya orang yang terganggu saat-saat indahnya.
Peri muda melesat pergi dengan muka sedikit kesal. Rentasan pergi dengan ketersinggungan. Belum pernah rayuannya tak mempan di gadis di muka bumi. Oh, Rentasan,… Buluh perindu-mu mandul. Peri muda melangkah ke bianglala yang mulai pudar.
Jelihim tertinggal di semak aur berduri. Terpaku mabuk harum melur. Duhai, wangimu harum bayi. Jejaka penjudi itu tetap terpaku. Khayal menerawang jauh. Kilatan matahari di atas telaga. Kilatan lembut sutera basah. sosok itu begitu indah. Tulang bahu begitu simetris. Tak ada lemak berlebih, bisa digolongkan kurus malah. Tapi begitu menarik. Begitu merangsang. Betapa tulang lebih terlihat menggiurkan dibanding daging.
Bianglala semakin memudar. Ujungnya meninggalkan tanah.
Jelihim melesat menyambar sumber kilatan. Serangga air tak berhenti berbunyi, katak masih menunggu lalat, tak ada kecipak. Begitu tinggi ilmu meringan tubuh jejaka yang diakui sebagai penguasa tujuh kute di selatan Muara Cawang.
"Hei, tunggu!"
Jelihim menangkap ujung pudar bianglala. Betina di atasnya menoleh dengan rupa kesal, "Mengapa lagi?!" Dia menyangka jejaka genit di atas telaga mengganggunya lagi.
"Maaf jika aku mengganggumu, Wahai Perempuan. Tapi apakah kau ketinggalan sesuatu."
Betina itu tersadar yang datang ternyata lelaki lain. Bukan lelaki yang tadi mengganggunya. Keangkuhan melarangnya meminta maaf. "Tidak, tak ada yang tertinggal."
"Ya sudah, berarti selendang ini bukan milikmu. Maaf, selamat tinggal," Jelihim pura-pura hendak pergi.
Betina di bianglala terkesiap. "Hei, kau bilang selendang?" Lalu dia meraba lehernya sigap. "Iya, selendangku tertinggal. Maafkan atas kekasaranku tadi."
Warna muka Jelihim tak berubah. "Tapi Aku rasa kau tak begitu butuh," Tidak juga ternyata. Warna muka Jelihim ditoreh sedikit rasa iseng. "selammm,……mat,..ting,…." Tinggal jari telunjuk dan ibu jari Jelihim memegang ujung bianglala.
"Eii, jangan pergi dulu. Benar-benar aku minta maaf. Selendang itu pemberian ibu periku,…tolong berikan padaku. Begitu berharga bagiku." Ujung lentik jari-jari Betina peri menangkap jemari Jelihim.
Jelihim meloncat ke atas bianglala. Akibat hentakan tenaga betina ditambah tenaga bujangan sakti itu sendiri.
"Aaaah,… " Begitu kuat lonjakan tadi. Jelihim berhasil menjejak ke bianglala. Si Betina terhempas ke luar sisi bianglala. Jemari mereka terlepas. Tubuh ramping melayang di atas awang-awang. "TENANG!" Teriak si Bujangan.
Tubuh Jelihim melesat. Tubuh jatuh itu begitu cepat meluncur. Jelihim menambah kecepatannya. Meloncat dari mega-mega. Tinggal sedikit lagi, jemari lentik itu sampai. Tapi kecepatan jatuhnya semakin cepat. Keringat Jelihim jatuh perbutir. Tubuh kuyuhnya basah peluh.
Jelihim mempercepat lesatannya. Gadis itu semakin dekat ke bumi. Bayangannya jatuh di telaga. Serangga darat berhenti berbunyi. Semua sepi. Belido bersembunyi di balik-balik purun. Angin seolah diam.
Jelihim berdoa dalam rupa cemas. Menyesal seumur hidup jika dia tak mampu menyelamatkan betina itu. Entah kenapa kesan pertama begitu menggoda, bukan karena itu saja. Setidaknya dia turut menyebabkan gadis itu jatuh,…dan mati.
"Aaaah! TIDAK!!!" Teriakan Jelihim mengacaukan telaga. Ikan-ikan berlompatan. Air beriak keras, telaga tenang tiba-tiba bergelombang. Ada sesuatu di hatinya yang rentan pecah. Jelihim merasa sesak di dadanya.
Tak ada harapan. Betina itu sebatang pinang sepuluh tahun dari tanah. Jelihim terus mempercepat laju.
Burung-burung berhenti terbang. Hinggap di atas pohon-pohon tepi telaga.
Gadis itu seolah pingsan. Diam. Tak ada yang bisa berharap. Tak juga ada yang mampu menolong. Tubuh itu akan remuk dalam waktu tak lama lagi. Umban. Luluh,… lantak.
Jelihim terus menambah kekuatannya. Tak bisa semakin cepat dia melesat, tubuh lepas itu bertambah pula kecepatannya. Gaya tarik bumi menyedotnya.
Jelihim pun tak mampu berharap.
Selendang di pinggang betina itu tiba-tiba berkibar. Arah jatuhnya membelok. Melengkung setengah cakrawala. Gerakan itu begitu indah. Burung-burung diam teriri. Diiringi tawa-tawa kecil. Betina itu menari di udara. Berputar dari mega ke mega tak secepat Jelihim memang. Pipit, cucakrawa yang tadi terdiam bersorak kagum. Tarian itu begitu indah. Awan mengganti-ganti rupa. Bentuk biri-biri putih, kereta kencana dengan empat kuda, atau kapas-kapas putih kecil, jagung beheteh.
Tertinggal Jelihim dalam kekesalan. Bujangan itu merasa dipermainkan. Tapi tawa kecil keluar dari mulutnya. "Sial, kubalas kali lain!" Teriaknya ke betina penari di mega.
Betina itu tertawa saja. Pemandangan di langit begitu indah. Dada jelihim bergeletar. Belum dia pernah melihat betina serupawan ini. Rona merahnya tertimpa mentari sore yang tak tega menyentuh kulit mulus sang betina.
"Hei, bianglala hampir habis!" Jelihim cemas mengingatkan.
Akhirnya betina rupawan berhenti menari. Berusaha mengejar ujung bianglala. Jelihim melesat cepat. Menyambar tubuh ramping. Dalam terbang Jelihim berkata, "Maaf bila ku tak sopan." Getarannya begitu lembut. Oh, pikir si Betina. Asmaramu di bicaramu, bujangan.
Cinta tertebar di intonasi si Bujangan.
Jelihim menyambar ujung bianglala. Mereka berdekapan di tujuh warna. "Terima kasih, namaku Redendam. Bolehkah ku tahu namamu ?"
"Jelihim. Kau bisa panggil aku Kawan Jelihim." Mata mereka bertemu. "Ufh, maaf aku cuma mau memulangkan selendangmu. Begitu berarti sepertinya," Jelihim tersadar.
"Apakah aku harus berterima kasih lagi, persediaan terima kasihku tak banyak,"
Betina itu tertawa kecil setelah ucapan terakhirnya sendiri.
"Tak perlu berterima kasih. Toh, tak bisa tak bisa ditukar sekulak beras," Jelihim membalas.
Keduanya tertawa.
"Bolehkah aku berterus terang, duhai Redendam ?" Ucap Jelihim pelan. Gadis itu menganggukkan.
"Aku cuma mau minta maaf sempat memperhatikanmu dan ibu perimu di telaga tadi, eee,…."Ucapan itu putus. Cuma terucap di hati. Tapi rendendam membacanya, eh,…aku mencintaimu karena kau mencintai ibumu.
Keduanya terdiam. Jelihim tak kuasa menahan hatinya. Getaran Betina itu pun begitu kuat. Bumi langit guncang. Sudahlah, anak manusia. Buang mimpimu pada perempuan langit. Tak ada kata-kata. Cuma bayangan di sengeng. Siluet tubuh berdekatan. Wajah mereka menyatu.
"Maafkan aku, aku harus pergi, " Suara berat jelihim menyadarkan.
Ada desah tertahan milik Betina.
Tapi Jelihim sudah berlompatan di mega-mega.
"Aku tunggu setiap sore di telaga," Bisik sakti Redendam dari jauh.
Jelihim menoleh sebentar. Cuma bentuk hitam seorang betina dengan latar oranye di ujung langit. Nyawamu dan nyawaku dijodohkan di langit, dan anak kita akan lahir di cakrawala. Adapun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.10
Di bawah, dua pasang mata Rentasan yang rupanya belum pergi berlumur kebencian karena peristiwa tadi.
* * *
Si Betina selalu menunggu di tepi telaga. Sendirian. Dan Jelihim tak pernah muncul. Menghabiskan waktu di lapak taruh. Tapi jangan cari Jelihim di satu lapak taruh, Jelihim hanyalah petaruh berpindah. Jelihim tak pernah menang, tak juga pernah kalah. Dari hikmah dari pertaruhan macam itu didebatkannya kepada kawan-kawan penjudi lainnya. Dan ajaklah mereka berdebat dengan cara sebaik-baiknya 11
"Ada judi lain yang lebih besar, kawan-kawan. Tentulah taruhannya besar pula. Bagaimana menaruhkan hak dan martabat diri terhadap penguasaan musuh di kute di utara." Sambil berjudi Jelihim membangun kekuatan dengan mencoba menyadarkan kawan-kawannya. Jelihim masih meragukan betinanya.
Si Betina menunggui di tepi telaga. Berpantun, Uji dengan aku dek ngandang, ngandang pedare lelayuan, uji pedengan aku dek ribang, ribang ketare kemaluan,…
* * *


0 komentar: