Di Selatan
Begitu indah. Semuanya tersaput keemasan. Bulir-bulir padi merunduk dalam, dewi padi menari di mata kelam sang dukun. Bocah-bocah berlarian di sela-sela rumpun padi, bergumul miang. Bocah-bocah telah dilangiri.
Asap mengepul di dapur umum. Bau padi pulut tersiram kince memenuhi ume. Perempuan tua memanggul keruntung , ani-ani menari. Dan padi tak pernah marah kepada ani-ani. Laki-laki mendorong kisaran. Bocah-bocah ditarik ibu-ibu mereka dari rumpun padi. Disuruh bermain layang-layang.
Sebagian menurut. Berlari dengan benang layang-layang dari urat pohon. Layang-layang daun waru terbang, membelah angin. Siulan bersahutan. "Hei, jangan bersiul di tengah ume." Teriak ibu-ibu mereka. Bocah berlarian menjauh. Siulan dari mulut penuh karamunting terus berbunyi tersendat. Melompati sesaji untuk bumi. Dewi Padi tersenyum di alam maya.
Ayam-ayam yang ditehing. Tunja dan lengkur tetap dipasang. Dua bulan lalu Cik bernyanyi di tepi-tepi desa melawan arah angin. Berucap-ucap,…Kepak-kepik kumbang lenggane, baleklah kamu ke mega metu. Kalu kamu dek balek, kamu dikutuk oleh Allah. Ke ayek kamu dak boleh minum, ke dahat kamu dak boleh makan. Laillaha ilallah, …"
Pak Cik ikut ngetam hari ini. Ikat kepalanya hitam. Jelihim bersamanya. Keduanya dilarang bekerja di tengah tengah ume. Keduanya melihat saja panen raye itu. Panen tiba, petani desa memetik tanaman. Bocah-bocah menari lincah dipematang,…
Padi begitu cepat berlumbuk, di jemur-jemur. Jelihim menenggak tuak. Wajahnya merah bersuka. Rakyatnya tak pernah kekurangan beras. Padi begitu cepat berlumbuk, padi di jemur-jemur. Padi berlumbung-lumbung.
Jelihim meniup batang padi. Menimpa-nimpa siulan bocah. Sebuah harmoni alami. Orkestra mereka mengisi suara gemercik air guhong. Bercampur suara angin menggesek batang-batang buluh, daun-daun, serangga padi, jangkrik tanah, pipit.
* * *
Di UtaraPanen tiba. Petani --tepatnya tukang cocok tanam di dusun-dusun-- bergumul ditengah sawah dan ladang. Petani bergulat dengan utang yang harus dibayar kepada Rentasan. Panen tak bisa disebut berhasil, belalang muncul entah dari mana. Kesaktian petani musnah. Mantra apalah daya. Ramuan yang selama ini dipaksakan oleh Rentasan lewat kaki tangannya, tak lagi bergigi. Pemuka-pemuka kepercayaan ditugaskan mencatat hasi panen yang kelak disumbangkan ke tempat-tempat pemujaan.
Bocah-bocah bekerja bersama orang-orang tua. Semua harus cepat selesai. Tak ada bersuka. Antan bertalu keras. Perempuan-perempuan menumbuk bonggol jagung kering. Tak ada yang bisa dimakan sekalipun tersedia padi. Padi itu bukanlah milik mereka. Semua milik Rentasan.
Musim tugal kemarin panen gagal, karena cuma padi kesenangan Rentasan yang boleh ditanam. Ketika musim kepi' dan belalang panen gagal. Petani berhutang besar. Untuk tongkat tugal sakti yang mampu membuat lubang tanam setengah sekat sekejap.
Matahari begitu panas, peluh berkucur, belacu-belacu kuyup oleh keringat. Hanyalah tukang cocok tanam belaka, yang keuntungannya dinikmati mereka yang tak melakukan kerja-kerja menghasilkan sesuatu apa. Petani tanpa tanah, walah. Menanam tanpa memanen, sekalipun petani begitulah adanya. Bertandur saja, tak begitu memikirkan siapa kelak menikmati bebuah yang ditanam. Anak-cucukah ? atau orang yang tak sengaja bersinggah ? selayaknya hakikat seorang petani. Petani tanpa tanah, walah-walah. Siapa menguasai tanah dia menguasai makanan. Dan Rentasanlah sang penguasa.
Rentasan mabuk di rumah bordil. Aroma tuak mengambang terbang. Tawamu aneh,... tawa serakah. Gudangnya dipenuhi cengkeh, kelapa, padi,... tak termakan-makan oleh mulutnya padahal. Memanen tanpa menanam, merompak tanpa jejak, kabur tanpa buntut, bau tanpa kentut.
Rentasan keluar menonton pasukannya. Berlatih perang, latih tarung. Rentasan mencoba mereka satu-satu. Semua bergelimpangan. Lalu latih tarung lagi. Pasukan Rentasan hanya bisa bertarung. Lain tidak,... seperti ayam jago kesayangannya.
* * *
Petani tak boleh berkumpul ramai-ramai. Kaki tangan Rentasan menyelempangkan pedang-pedang
panjang.
*
0 komentar:
Post a Comment