Kute Muara Cawang terlihat lenggang. Padahal hari
itu hari kalangan, hari pekan. Angin bertiup sedikit, cukup mampu
menggerakkan anak rambut putri Redendam, bidadari khayangan yang turun di
kalangan kute Muara Cawang. Parasnya elok, harumnya wangi bayi, jadikan
keringat menjadi bumbu, ah
Parasnya elok benar, mata-mata mengintip
dari jendela rumah-rumah yang juga menjadi pasar. Kalangan Muara Cawang memang
sangat ramai, pedagang dan pembeli tujuh kute di hulu dan dan tujuh kute
di hilir bertemu. Setepak sekat dari batanghari dipenuhi pedagang.
Durian hingga tempoyak, ada tersedia.
"Belilah pekasam ini, sebentar lagi banjir besar, kalian tak bisa
membeli ikan."
"Ssst, mau beli kalung babi
tidak," Penjual obat baju hitam itu berbisik ke seorang yang kelihatannya
habis menjual getah. Punjinnya gemerincing. Orang-orang kasak kusuk.
Buah-buah
berlumbuk di kalangan, sementara orang-orang terlihat segan datang. Pedare, rukam,
duku, rambutan, dan macam-macam lagi. Tapi Cuma mata-mata yang terlihat dari
kejauhan.
Bidadari itu demikian cantik, sehingga
orang-orang tahu kalau Redendam turun pastilah Rentasan keluar dan memancing
keributan dan menggoda gadis bidadari itu. Mata-mata itu bukan dari kuku
orang mati, duhai mereka tertindas atau tidak?
Tapi
Redendam hari sepertinya tak mau berurusan. Sehingga dia cepat-cepat pulang
setelah membeli beberapa butir telur ulat sutra. Terbang,
selendangnya terurai serupa jalan, dan orang-orang lima belas kute itu
merasa bernasib benar jika telah memandang semua itu. Untung Jaka Tarup di lain
lakon.
Lenyap sudah keindahan di sisa matahari
terbit. Orang-rang diliputi
rasa senang dan penyesalan. Menyesalkan terlalu singkat semua keindahan, dan
mensukuri dengan keindahan berlalu, bencana urung datang.
Angin
tiba-tiba bertiup kencang, udara jahat tak ramah. Kepulan asap dari ujung kute
membumbung, bukan asap tapi debu. Sebuah bayangan gelap berkelebat, Orang-orang
yang baru mau keluar celah-celah pintu minggir lagi.
Ada
yang datang. Matanya menyorot tajam, hidungnya mengendus-endus bau wangi.
Seperti mereka yang ada di kedai tuak milik pedagang Tiongkok.
Rentasan sang penguasa tujuh kute
di utara. Kekuatannya maha dashyat, Duhai siapa yang mampu menyamai kekuatan
para dewa di khayangan ? Yang mampu mendatangkan badai, mampu memindah gunung.
Tak ada yang mengalahkan Rentasan di tujuh kute utara. Setelah berhasil
mengacau rapat dewan kute, Rentasan menguasai tujuh kute tersebut.
Muncullah sang tiran.
Saat ini Rentasan berkeinginan mengusai
kute di selatan Muare Cawang. Ah, politik kenegaraan masa itu begitulah,
kedaulatan hanyalah muncul setelah menguasai daerah kekuasaan lain. Setelah
menindas kelompok lain, setelah …. kegilaan-kegilaan yang memunculkan
kelas-kelas penindas baru, entah penindas kelas miskin atau penindas dari kelas
pemilik modal,… Bumi terbolak tertelan hawa serakah.
Seketika kedatangannya mempercepat
jalannya matahari, kalangan mendadak panas, matahari terasa lebih dekat.
Rentasan hanya bergelak. Mencomoti
dagangan di tengah kalangan. Melemparnya sekehendak hati. Durian hanya terbelah
dua-tiga tanpa dimakan. Dilempar ke angkasa, terbakar oleh kekuatan langit.
Membara dan menabrak bautu langit. Pecah.
Kute Muare Cawang gegar.
Dewa-dewa khayangan ribut di angkasa, ribut rembuk, rapat tikus terjadi. Semua
sepakat menghentikan ulah Rentasan, semua sepakat. Tapi siapa yang mau turun ke
bumi, dan menginjak tanah. Rentasan tak terkalahkan.
Siapa bisa menolong siapa ? Siapa yang
mau jadi pahlawan, apakah memang pahlawan tak dibutuhkan ?
Tiba-tiba hawa berubah pelan-pelan,
sejuk terbawa angin selatan. Matahari tertekan awan, naik ke atas lagi. Hawa
sejuk berputar mengitari Muare Cawang. Rentasan mengetahui ini, "Hei,
siapa berani main-main dengan ku !" Dia memaki. Memang dia hanya bisa memaki.
Kecuali dengan Redendam yang diimpikannya. Tak kurang akal, dipancingnya keluar
panas bumi, bloom ledakan-demi ledakan mendahului semuanya. Api-api keluar dari celah-celah mata air.
Hawa
sejuk semakin kuat. Bergantian dengan hawa dingin membekukan memadamkan api.
Sesekali gas bersih terasa dikurung, api padam. Hidup lagi oleh kemarahan
Rentasan. Api membeku lagi, ….
Orang-orang
di Kute Muare Cawang panas dingin, suasana tenang pagi menjadi kotor. Keringat
sebesar jagung tiba-tiba menjadi salju, salju tiba-tiba menjadi cair, dan
mengembun,… Oh neraka
tercium dari bumi, apinya menjilat-jilat pantat anjing,…
Kedaan
tak dapat dibiarkan, sayur dan buah menjadi busuk, ternak-ternak terkapar, …
Hawa beku semakin dekat.
Orang-orang
tertegun, Sosok kurus kering dengan rambut riap-riapan muncul. Kepalanya
tak tertutup apa-apa, Cuma belacu yang membungkus tubuh tipis itu. Jelihimkah ?
Yang diakui rakyat kute selatan sebagai pemimpin. Pemimpin yang tak pernah
muncul langsung, semua dipercayakan kepada rakyat, lewat senyum tipisnya dia
sering mendesah, "kalian rakyat, kalianlah pemimpin,.." Selebihnya
dia lebih sering berada di ume atau dimanalah berada tempat tempat sepi.
Jelihim sang 'sempalan' biasa disebut
Rentasan. Sampai saat ini Rentasan begitu bernafsu mengalahkan si Kerempeng
itu, karena kekayaan 'negeri' kecilnya begitu cukup. Sampai saat ini kekuatan
bersenjata Rentasan belum mampu merobohkan benteng aur negeri sang
sempalan.
Khabar burung menebar bahwa Jelihim
menjalin asmara dengan Redendam. Dan Rentasan meluap kemarahannya mendengar
itu. "Lebih baik berbuat dosa daripada kudengar namanya!" Maki
Rentasan setiap anak buahnya melaporkan Jelim.
"Oh rupanya kau yang membuat
rakyat disini kedinginan, wahai pemimpin yang tak pernah menghangatkan rakyat.
Habis panas tubuhmu Cuma untuk mensedekap Redendam, cuih!" Ludah Rentasan
menyentuh tanah, membuat lubang sebesar sumur. Seketika cacing-cacing keluar,
kepanasan.
Khabar burung lagi mengatakan bahwa
Rentasan mencemburui Jelihim. Ah terserah,… "Siapa yang dengki dengan
kesukaanku terhadap Redendam, maka dialah musuhku !" Maki Rentasan
seringkali di hadapan pendukungnya. Anak-anak buahnya menyingkir menjauh dari
Rentasan. Biasanya dia membanting apa saja yang ada di dekatnya setiap berkata
itu.
"Ada apa Rentasan, pagi-pagi kau
sudah ngamuk-ngamuk tiada karuan. Muare Cawang kan bukan kekuasaanmu,"
Jelihim berkata pelan. Udara perlahan normal, orang-orang memberesi dagangan
berdiri di kejauhan menonton dua orang digdaya itu. "Di daerah kekuasaanmu
sendiripun tak boleh terlalu kejam. Berapa orang yang tak bisa makan hari ini
karena kalangan kau hancurkan?" Jelihim berusaha menyadarkan Rentasan.
"Sudahlah kau tak usah berkhotbah,
berhentilah berbicara tentang surga-neraka, jangan sok suci. Kau sendiri
bercinta setiap waktu!" Rentasan geram.
"Aku tak berkhotbah, apalagi
tentang surga neraka. Aku Cuma mengingatkan bahwa kita manusia. Maka jadilah
manusia,…"
"Tutup mulutmu." Kebencian
meluap-luap , amarah membakar hati Rentasan. Kuduk rentasan tercabut
dari sangkar dan membacok Jelihim. Hanya mengenai angin. Jelihim mengelak gesit
sambil melemparkan ajian membuat rompal golok Rentasan.
Golok
membacok lagi, menusuk, dan mengiris. Jelihim terus saja mengelak. "Hei,
apa-apaan ini." Disela-sela kelebatan bayang-bayang golok yang membungkus
bayangan Jelihim, Jelihim bersuara.
Masih sempat tiga kali golok itu
mencincang tubuh Jelihim, luput. Lalu Rentasan berhenti. Nafas terengah, matahari
memoles keringat mereka.
"Baiklah, Jelihim." Rentasan
memulai pembicaraan. "Ambillah jagomu, kita sabung saja,"
"He, bukan begitu maksudku. Kenapa
harus main adu-aduan, adu otot, adu ayam, atau adu apalah. Seperti binatang
saja kita ini," Jelihim mundur. "Dan kau tahu aku tak punya ayam,
kan?"
"Tak
mau tahu." Atau kau mengaku kalah. "Taruhannya ini," Rentasan
memperlihatkan punjen berisi simbol kekuasaan di tujuh kute di utara.
"Kau harus serahkan tujuh kute di selatan kalau kau kalah." Lalu
Rentasan memperlihatkan selendang Sutra, simbol seorang perawan. Redendam juga
dipertaruhkan.
"Bukan cuma ini, tapi kalau kau
kalah, tanah secuilmu di Selatan juga untuk ku," Senyum Rentasan terasa
culas.
Tunduk tertindas adalah penghianatan,
"Cuma ada satu kata,… Lawan!"
Bisik batin Jelihim.
Tapi
apakah tega, kalau Redendam pun kupertaruhkan.
Sang
Kemare hinggap di bahu Jelihim, Lelaki itu dalam kebingungan. Otaknya dipacu
berpikir cepat. Keadaan setempat tak mentolerir pikiran yang gagap dan setengah
hati.
Lelaki
dan Murai
Mencumbu pilihan tersulit,
Ketika cinta jadi taruhan
Jadilah Hanoman menyerbu alengka,
Gawat, lakonmu berat wahai lelaki,…
Mencumbu pilihan tersulit,
Ketika cinta jadi taruhan
Jadilah Hanoman menyerbu alengka,
Gawat, lakonmu berat wahai lelaki,…
Paruh
murai begitu dekat dengan telinga Jelihim, "Aku rasa Redendam bisa
menerima itu, jangan kau pandang ini permainan yang menyakitkan dia. Sebuah
langkah pembebasan manusia di kute utara, wahai Jelihim. Tarung ini
untuk kebenaran."
Maka
mantaplah pilihan yang diputuskan Jelihim, dia menulis pesan dalam surat ulu
kepada kekasihnya di khayangan.
Salah
besar mungkin keputusan ini,
Segala bolehlah kau timpakan kepadaku
Masih ingatkah adinda tentang sebuah cita-cita
Kehidupan tanpa penindasan
Kehidupan disini dipenuhike serakahan
sampai beberapa sengeng kita tak bertatapan
Kirimkan padaku ayam jalak juring kuning,
Segala bolehlah kau timpakan kepadaku
Masih ingatkah adinda tentang sebuah cita-cita
Kehidupan tanpa penindasan
Kehidupan disini dipenuhike serakahan
sampai beberapa sengeng kita tak bertatapan
Kirimkan padaku ayam jalak juring kuning,
Sang
Kemare itu segera kembali meninggalkan Redendam di dalam rundungan sedih.
Terbang bersama ayam jalak juring kuning. Dan Rentasan dan
Jelihim melesat ke kute Pagar Batu. Hanya sebuah kelebatan, menyisakan
tawa Rentasan sepanjang rimba yang dilalui. Satwa berhenti bernyanyi,
Perjalanan teramat jauh, melintasi rimba, sebuah padang pasir yang panas, Debu
mengepul-ngepul, pasir tergurat panjang dan dalam. Dua garis. Menuju sebuah kute
mati. Dipenuhi batu-batu raksasa yang menjulang, dan tandus.
Orang-orang
kute berkumpul menyusul dengan langkah tergesah. Kute selatan dan
Utara bertatapan sinis bersiap perang. Orang-orang Rentasan beringasan bermata
merah. Siap menelan orang-orang berduyun itu.
"Hei, tak baik kau membesarkan
matamu ke rakyat ini, kita sesama rakyat. Mari sama-sama mengarahkan mata pisau
ke musuh bersama," Sergah seorang tua. Pak Cik ikut rupanya.
Orang-orang
dalam langkah berduyun-duyun.
Dua sosok berhadapan. Dari kejauhan
hanyalah kibaran-kibaran jubah, angin terlalu deras,… Dikendalikan setan-setan.
* * *
0 komentar:
Post a Comment