Wednesday, April 24, 2013

(6) G e g a r , Syam Asinar Radjam


Kute Muara Cawang terlihat lenggang. Padahal hari itu hari kalangan, hari pekan. Angin bertiup sedikit, cukup mampu menggerakkan anak rambut putri Redendam, bidadari khayangan yang turun di kalangan kute Muara Cawang. Parasnya elok, harumnya wangi bayi, jadikan keringat menjadi bumbu, ah
Parasnya elok benar, mata-mata mengintip dari jendela rumah-rumah yang juga menjadi pasar. Kalangan Muara Cawang memang sangat ramai, pedagang dan pembeli tujuh kute di hulu dan dan tujuh kute di hilir bertemu. Setepak sekat dari batanghari dipenuhi pedagang.
Durian hingga tempoyak, ada tersedia. "Belilah pekasam ini, sebentar lagi banjir besar, kalian tak bisa membeli ikan."
"Ssst, mau beli kalung babi tidak," Penjual obat baju hitam itu berbisik ke seorang yang kelihatannya habis menjual getah. Punjinnya gemerincing. Orang-orang kasak kusuk.
Buah-buah berlumbuk di kalangan, sementara orang-orang terlihat segan datang. Pedare, rukam, duku, rambutan, dan macam-macam lagi. Tapi Cuma mata-mata yang terlihat dari kejauhan.
Bidadari itu demikian cantik, sehingga orang-orang tahu kalau Redendam turun pastilah Rentasan keluar dan memancing keributan dan menggoda gadis bidadari itu. Mata-mata itu bukan dari kuku orang mati, duhai mereka tertindas atau tidak?
Tapi Redendam hari sepertinya tak mau berurusan. Sehingga dia cepat-cepat pulang setelah membeli beberapa butir telur ulat sutra. Terbang, selendangnya terurai serupa jalan, dan orang-orang lima belas kute itu merasa bernasib benar jika telah memandang semua itu. Untung Jaka Tarup di lain lakon.
Lenyap sudah keindahan di sisa matahari terbit. Orang-rang diliputi rasa senang dan penyesalan. Menyesalkan terlalu singkat semua keindahan, dan mensukuri dengan keindahan berlalu, bencana urung datang.
Angin tiba-tiba bertiup kencang, udara jahat tak ramah. Kepulan asap dari ujung kute membumbung, bukan asap tapi debu. Sebuah bayangan gelap berkelebat, Orang-orang yang baru mau keluar celah-celah pintu minggir lagi.
Ada yang datang. Matanya menyorot tajam, hidungnya mengendus-endus bau wangi. Seperti mereka yang ada di kedai tuak milik pedagang Tiongkok.
Rentasan sang penguasa tujuh kute di utara. Kekuatannya maha dashyat, Duhai siapa yang mampu menyamai kekuatan para dewa di khayangan ? Yang mampu mendatangkan badai, mampu memindah gunung. Tak ada yang mengalahkan Rentasan di tujuh kute utara. Setelah berhasil mengacau rapat dewan kute, Rentasan menguasai tujuh kute tersebut. Muncullah sang tiran.
Saat ini Rentasan berkeinginan mengusai kute di selatan Muare Cawang. Ah, politik kenegaraan masa itu begitulah, kedaulatan hanyalah muncul setelah menguasai daerah kekuasaan lain. Setelah menindas kelompok lain, setelah …. kegilaan-kegilaan yang memunculkan kelas-kelas penindas baru, entah penindas kelas miskin atau penindas dari kelas pemilik modal,… Bumi terbolak tertelan hawa serakah.
Seketika kedatangannya mempercepat jalannya matahari, kalangan mendadak panas, matahari terasa lebih dekat.
Rentasan hanya bergelak. Mencomoti dagangan di tengah kalangan. Melemparnya sekehendak hati. Durian hanya terbelah dua-tiga tanpa dimakan. Dilempar ke angkasa, terbakar oleh kekuatan langit. Membara dan menabrak bautu langit. Pecah.
Kute Muare Cawang gegar. Dewa-dewa khayangan ribut di angkasa, ribut rembuk, rapat tikus terjadi. Semua sepakat menghentikan ulah Rentasan, semua sepakat. Tapi siapa yang mau turun ke bumi, dan menginjak tanah. Rentasan tak terkalahkan.
Siapa bisa menolong siapa ? Siapa yang mau jadi pahlawan, apakah memang pahlawan tak dibutuhkan ?
Tiba-tiba hawa berubah pelan-pelan, sejuk terbawa angin selatan. Matahari tertekan awan, naik ke atas lagi. Hawa sejuk berputar mengitari Muare Cawang. Rentasan mengetahui ini, "Hei, siapa berani main-main dengan ku !" Dia memaki. Memang dia hanya bisa memaki. Kecuali dengan Redendam yang diimpikannya. Tak kurang akal, dipancingnya keluar panas bumi, bloom ledakan-demi ledakan mendahului semuanya. Api-api keluar dari celah-celah mata air.
Hawa sejuk semakin kuat. Bergantian dengan hawa dingin membekukan memadamkan api. Sesekali gas bersih terasa dikurung, api padam. Hidup lagi oleh kemarahan Rentasan. Api membeku lagi, ….
Orang-orang di Kute Muare Cawang panas dingin, suasana tenang pagi menjadi kotor. Keringat sebesar jagung tiba-tiba menjadi salju, salju tiba-tiba menjadi cair, dan mengembun,… Oh neraka tercium dari bumi, apinya menjilat-jilat pantat anjing,…
Kedaan tak dapat dibiarkan, sayur dan buah menjadi busuk, ternak-ternak terkapar, … Hawa beku semakin dekat.
Orang-orang tertegun, Sosok kurus kering dengan rambut riap-riapan muncul. Kepalanya tak tertutup apa-apa, Cuma belacu yang membungkus tubuh tipis itu. Jelihimkah ? Yang diakui rakyat kute selatan sebagai pemimpin. Pemimpin yang tak pernah muncul langsung, semua dipercayakan kepada rakyat, lewat senyum tipisnya dia sering mendesah, "kalian rakyat, kalianlah pemimpin,.." Selebihnya dia lebih sering berada di ume atau dimanalah berada tempat tempat sepi.
Jelihim sang 'sempalan' biasa disebut Rentasan. Sampai saat ini Rentasan begitu bernafsu mengalahkan si Kerempeng itu, karena kekayaan 'negeri' kecilnya begitu cukup. Sampai saat ini kekuatan bersenjata Rentasan belum mampu merobohkan benteng aur negeri sang sempalan.
Khabar burung menebar bahwa Jelihim menjalin asmara dengan Redendam. Dan Rentasan meluap kemarahannya mendengar itu. "Lebih baik berbuat dosa daripada kudengar namanya!" Maki Rentasan setiap anak buahnya melaporkan Jelim.
"Oh rupanya kau yang membuat rakyat disini kedinginan, wahai pemimpin yang tak pernah menghangatkan rakyat. Habis panas tubuhmu Cuma untuk mensedekap Redendam, cuih!" Ludah Rentasan menyentuh tanah, membuat lubang sebesar sumur. Seketika cacing-cacing keluar, kepanasan.
Khabar burung lagi mengatakan bahwa Rentasan mencemburui Jelihim. Ah terserah,… "Siapa yang dengki dengan kesukaanku terhadap Redendam, maka dialah musuhku !" Maki Rentasan seringkali di hadapan pendukungnya. Anak-anak buahnya menyingkir menjauh dari Rentasan. Biasanya dia membanting apa saja yang ada di dekatnya setiap berkata itu.
"Ada apa Rentasan, pagi-pagi kau sudah ngamuk-ngamuk tiada karuan. Muare Cawang kan bukan kekuasaanmu," Jelihim berkata pelan. Udara perlahan normal, orang-orang memberesi dagangan berdiri di kejauhan menonton dua orang digdaya itu. "Di daerah kekuasaanmu sendiripun tak boleh terlalu kejam. Berapa orang yang tak bisa makan hari ini karena kalangan kau hancurkan?" Jelihim berusaha menyadarkan Rentasan.
"Sudahlah kau tak usah berkhotbah, berhentilah berbicara tentang surga-neraka, jangan sok suci. Kau sendiri bercinta setiap waktu!" Rentasan geram.
"Aku tak berkhotbah, apalagi tentang surga neraka. Aku Cuma mengingatkan bahwa kita manusia. Maka jadilah manusia,…"
"Tutup mulutmu." Kebencian meluap-luap , amarah membakar hati Rentasan. Kuduk rentasan tercabut dari sangkar dan membacok Jelihim. Hanya mengenai angin. Jelihim mengelak gesit sambil melemparkan ajian membuat rompal golok Rentasan.
Golok membacok lagi, menusuk, dan mengiris. Jelihim terus saja mengelak. "Hei, apa-apaan ini." Disela-sela kelebatan bayang-bayang golok yang membungkus bayangan Jelihim, Jelihim bersuara.
Masih sempat tiga kali golok itu mencincang tubuh Jelihim, luput. Lalu Rentasan berhenti. Nafas terengah, matahari memoles keringat mereka.
"Baiklah, Jelihim." Rentasan memulai pembicaraan. "Ambillah jagomu, kita sabung saja,"
"He, bukan begitu maksudku. Kenapa harus main adu-aduan, adu otot, adu ayam, atau adu apalah. Seperti binatang saja kita ini," Jelihim mundur. "Dan kau tahu aku tak punya ayam, kan?"
"Tak mau tahu." Atau kau mengaku kalah. "Taruhannya ini," Rentasan memperlihatkan punjen berisi simbol kekuasaan di tujuh kute di utara. "Kau harus serahkan tujuh kute di selatan kalau kau kalah." Lalu Rentasan memperlihatkan selendang Sutra, simbol seorang perawan. Redendam juga dipertaruhkan.
"Bukan cuma ini, tapi kalau kau kalah, tanah secuilmu di Selatan juga untuk ku," Senyum Rentasan terasa culas.
Tunduk tertindas adalah penghianatan, "Cuma ada satu kata,… Lawan!" Bisik batin Jelihim.
Tapi apakah tega, kalau Redendam pun kupertaruhkan.
Sang Kemare hinggap di bahu Jelihim, Lelaki itu dalam kebingungan. Otaknya dipacu berpikir cepat. Keadaan setempat tak mentolerir pikiran yang gagap dan setengah hati.
Lelaki dan Murai
Mencumbu pilihan tersulit,
Ketika cinta jadi taruhan
Jadilah Hanoman menyerbu alengka,
Gawat, lakonmu berat wahai lelaki,…
Paruh murai begitu dekat dengan telinga Jelihim, "Aku rasa Redendam bisa menerima itu, jangan kau pandang ini permainan yang menyakitkan dia. Sebuah langkah pembebasan manusia di kute utara, wahai Jelihim. Tarung ini untuk kebenaran."
Maka mantaplah pilihan yang diputuskan Jelihim, dia menulis pesan dalam surat ulu kepada kekasihnya di khayangan.
Salah besar mungkin keputusan ini,
Segala bolehlah kau timpakan kepadaku
Masih ingatkah adinda tentang sebuah cita-cita
Kehidupan tanpa penindasan
Kehidupan disini dipenuhike serakahan
sampai beberapa sengeng kita tak bertatapan
Kirimkan padaku ayam jalak juring kuning,
Sang Kemare itu segera kembali meninggalkan Redendam di dalam rundungan sedih. Terbang bersama ayam jalak juring kuning. Dan Rentasan dan Jelihim melesat ke kute Pagar Batu. Hanya sebuah kelebatan, menyisakan tawa Rentasan sepanjang rimba yang dilalui. Satwa berhenti bernyanyi, Perjalanan teramat jauh, melintasi rimba, sebuah padang pasir yang panas, Debu mengepul-ngepul, pasir tergurat panjang dan dalam. Dua garis. Menuju sebuah kute mati. Dipenuhi batu-batu raksasa yang menjulang, dan tandus.
Orang-orang kute berkumpul menyusul dengan langkah tergesah. Kute selatan dan Utara bertatapan sinis bersiap perang. Orang-orang Rentasan beringasan bermata merah. Siap menelan orang-orang berduyun itu.
"Hei, tak baik kau membesarkan matamu ke rakyat ini, kita sesama rakyat. Mari sama-sama mengarahkan mata pisau ke musuh bersama," Sergah seorang tua. Pak Cik ikut rupanya.
Orang-orang dalam langkah berduyun-duyun.
Dua sosok berhadapan. Dari kejauhan hanyalah kibaran-kibaran jubah, angin terlalu deras,… Dikendalikan setan-setan.
* * *

0 komentar: