Wednesday, April 24, 2013

Permintaan Ibu Tercinta

Tiga hari tak terasa telah berlalu. Liburan Narti akan segera berakhir. Dan ia harus segera kembali ke Bandung. Sebenarnya Narti masih ingin tinggal lama di kampung menemani ibunya, tapi pekerjaan telah menunggunya, ia harus segera kembali. Ia merupakan satu-satunya tumpuan hidup ibu dan adik-adiknya, sebagai anak paling besar ia berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu dan adik-adiknya, karena hanya dia anak satu-satunya yang telah berpenghasilan.

Pagi itu Narti sudah berkemas dan siap untuk pergi. Seperti layaknya seorang anak yang berbakti ia berpamitan dengan ibunya.

“Bu, aku mau balik ke Bandung, doakan aku agar selalu dalam lindungan-Nya, agar aku bisa menjalani perintah Tuhan, dan selalu ingat nasehat Ibu,” ujar Narti

“Tentu saja, Nak, Ibu akan selalu mendoakanmu. Tapi sebelum kamu pergi, ada

yang ingin Ibu tanyakan kepadamu,” ujar ibunya.

“Memangnya ada apa, Bu,” Narti merasa heran.

“Nak, apakah kamu tidak menyadari, bahwa usiamu semakin bertambah, apakah kamu sudah memikirkan calon pendamping hidupmu? Aku sudah tak sabar ingin mendapatkan cucu darimu, Nak,” dengan hati-hati ibunya mngungkapkan keinginan

yang selama ini terpendam.

Narti tersentak kaget. Pertanyaan yang selama ini ia takutkan akhirnya keluar dari mulut ibunya. Selama ini ia selalu menghindar jika ia ditanya masalah ini. Tapi sekarang yang menanyakan ini adalah ibunya sendiri, dan tentu saja ia tak mau mengecewakan ibunya yang sangat ia sayangi.

“Bukannya aku tidak memikirkannya, Bu. Mungkin belum jodohnya saja, aku berjanji akan berusaha memenuhi permintaan Ibu,” ujarnya.

“Baguslah kalau begitu, semoga kamu mendapatkan jodoh yang baik.”

”Eh, hari sudah siang, Bu, aku pamit dulu, takut ketinggalan kereta,” Narti mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Ya, hati-hati di jalan ya, Nak!” seru ibunya.

Akhirnya Narti pergi dengan segala kegalauan di hatinya.



Perjalanan pulang terasa begitu melelahkan, ditambah besok Narti mungkin harus kembali menghadapi kesibukan sebagai wanita karir. Namun bukan itu sebenarnya yang dikhawatirkan Narti. Ia lebih memikirkan apa yang dikatakan ibunya sebelum ia kembali ke Bandung.

Ia tidak tahu apakah mungkin ia bisa memenuhi permintaan ibunya. Permintaan itu terasa berat bagi Narti. Mungkin kalau permintaan itu berupa materi, ia telah punya segalanya. Kini Narti memimpin perusahaan agrobisnis yang ia rintis semenjak ia menerima gelar insinyur pertanian dari institut terkenal di Kota Hujan. Dalam hal ini Narti sudah bisa membanggakan ibunya di Jogja. Tapi ada satu permintaan ibunya yang belum terpenuhi olehnya, permintaan itu terasa cukup berat baginya. Sebenarnya Narti juga merasa kesepian untuk hidup sendiri, ia ingin sekali mendapatkan seseorang yang dapat mencintainya dengan tulus, namun ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk mencoba, ia takut dirinya disakiti kembali.

Seperti biasanya, akhir pekan ini Narti menghilangkan kepenatannya dengan makan malam atau sekedar minum di sebuah kafe langganannya, sambil mendengarkan

musik kegemarannya, jazz, secara live. Hampir setiap malam minggu Narti

menyempatkan untuk datang. Sambil menikmati minumannya Narti masih memikirkan perkataan ibunya.

Tiba-tiba mata Narti tehenti ke arah meja di seberangnya. Tampak seorang pria tampan yang rupanya sedang sendirian. entah kenapa ada sesuatu yang berbeda di hatinya.

“Sedang apa pria ini? Apakah dia menunggu seseorang? Ataukah memang dia sedang kesepian seperti diriku?” begitu pikirnya.

Tiba-tiba pria itu menoleh ke arahnya. Beberapa saat keduanya saling bertatapan. Jantung Narti bergetar begitu cepat, apalagi pria itu melemparkan senyum kepadanya. Narti semakin salah tingkah.

“Mungkinkah ini jodohku?” begitu pikirnya.

Tapi perasaan itu tak bertahan lama, tak berapa lama kemudian seorang wanita muda yang cukup cantik menghampiri pria tersebut. Rupanya pria tersebut menunggu wanita yang baru saja menghampirinya.

“Beruntung sekali wanita itu. Sepertinya pria itu orang baik-baik. Kapan aku bisa mendapatkan pria idamanku?” begitu pikir Narti.

Sebulan berlalu, dan selama itu setiap malam minggu ia menyaksikan seorang pria yang sedang menunggu wanita. Dan setiap menunggu wanita itu, pria itu akan memandang ke arahnya, dan tentu saja dibumbui dengan senyuman. Dan ia akan memperhatikan bagaimana sejoli itu bercengkrama, bercumbu dan memadu kasih.

Seperti malam Minggu sebelumnya, kali ini ia pun mengalami pemandangan yang sama. Seorang pria yang memberi senyum padanya saat menunggu wanita, kemudian wanita itu datang. Tapi kali ini ada yang berbeda, kali ini tak ada canda tawa, yang ada hanya isak tangis wanita itu, kekasih pria itu.

“Ada apa gerangan dengan wanita tersebut, apakah ada masalah dengan hubungan mereka?” Narti mencoba menduga apa yang terjadi.

Tak lama kemudian wanita itu pergi meninggalkan pria tersebut, masih dengan isak tangisnya. Narti merasa penasaran apa gerangan yang terjadi dengan mereka.

”Mungkinkah wanita itu menghianati cinta si pria dan ketahuan oleh si pria sehingga wanita itu di putuskan oleh si pria, atau malah sebaliknya,” lamun Narti.

Entah kenapa Narti begitu peduli akan kejadian tersebut, mengapa ia harus pusing oleh hal tersebut,. Kenapa Narti harus pusing dengan urusan mereka. Atau mungkin Narti mengharapkan cinta dari pria tersebut.

Dengan penuh keberanian ia menghampiri pria itu, dan ia pun menyapanya. “Hai,” sapa Narti. “Boleh duduk di sini?”

“Oh! Tentu saja,” jawab pria tersebut

“Maaf bila aku lancang, apa yang terjadi dengan wanitamu itu?” tanya Narti, entah kenapa Narti tiba-tiba bertingkah aneh seperti itu, apakah cinta membutakannya.

“Memang kenapa?” tanya pria tersebut.

“Oh, tidak, maafkan aku yang begitu lancang menanyakan hal tersebut,” jawab Narti terlihat gugup.

“Ah, tidak apa-apa, aku bosan dengannya, dan jujur saja sebenarnya aku terpesona oleh kecantikanmu, aku selalu memperhatikanmu aku terpesona akan senyummu, kalau kau bersedia, maukah kau menjadi kekasihku?”

Narti terdiam, akhirnya harapan mendapatkan cinta yang tulus telah sirna, menurutnya laki-laki sama saja, buaya. Kejadian yang dulu ia rasakan menimpa wanita tersebut.

“Maaf kau salah paham akan arti senyumku,” jawab Narti dengan tegas.

Mungkin untuk beberapa waktu Narti akan melupakan usahanya untuk menyenangkan ibu tercinta



0 komentar: