Wednesday, April 24, 2013

Ketika Takdir Berbalik

Selasa, 08 Nov 2005,

Penulis adalah mahasiswi Universitas Airlangga Surabaya

Aku berjalan menyusuri gang. Rumah bercat kuning yang aku tuju sudah kelihatan. Rumah itu cukup sederhana. Pada dinding depan tertulis Jalan Gereja no 10. Di teras depan tertata dua buah kursi dan meja persegi. Di tempat itu biasanya aku belajar.



"Assalamualaikum." Gorden depan disingkap orang. Tak lama kemudian ia membukakan pintu. Wajahnya yang indo tersenyum ramah padaku. Tubuhnya tinggi dan ramping.

"Waalaikumsalam," sahutnya.

"Sendirian La? Mana yang lain?"

"Lagi pergi. Nanti sore mungkin kembali."

Kulepas sandal dan menuju ke dalam. Tas punggung yang terasa berat kuletakkan begitu saja di kursi.

"Kamu lapar, Pin? Kebetulan aku sedang buat mi di dapur. Kalau mau, aku buatkan sekalian."

"Tentu saja aku mau. Jangan lupa kasih sayur dan telur."

Lala bergegas ke dapur. Tidak lama kemudian teman kosku itu sudah sibuk dengan masakannya. Kubaringkan tubuhku di atas ranjang, mengusir lelah setelah 6 jam di perjalanan. Bau pengap tiba-tiba saja menyergap. Aku baru ingat, kamar ini kutinggal sejak seminggu yang lalu. Kupaksakan tubuh bangun dan mengambil sapu di pojok kamar. Tepat ketika aku mulai menyapu, kudengar suara memanggilku.

"Pin! Ayo, sudah matang!"

Kuletakkan kembali sapu dan bergegas ke dapur.

"Wah...kayaknya enak nih. Mi goreng campur telur. Hmm... sedap..." kuambil mi itu dengan garpu lalu mengunyahnya. Sedikit demi sedikit rasa laparku hilang.

"Kamu lagi mikirin apa La? Ayo makan!"

Kuhentikan makanku sejenak. Kulihat sahabatku yang menatap kosong ke arah piring di hadapannya. Dimain-mainkannya benda keriting di dalamnya dengan garpu.

"Kamu sakit?"

"Nggak apa-apa kok."

"Kalau gitu, ayo makan."

"Kamu tahu nggak Pin, kalau aku paling hobi sama cowok?"

Aku sedikit terkejut dengan perkataan Lala.

"Maksudmu?" tanyaku heran.

"Seperti kamu tahu sendiri, aku itu orangnya mudah tertarik sama cowok."

"Maksudmu Fio? Terus gimana dong dengan Ikan?"

"Bukan Ikan, tapi Ichan!"

"Ya, maksudku juga itu. Apa kamu mau ninggalin cowok China-mu itu? Ngomong-ngomong, kamu ditarik Fio sama tambang ya?"

Sekilas Lala melirikku. Seakan tak menggubris bualanku, ia melanjutkan.

"Dia itu bukan cowokku. Hanya teman jalan. Kamu tahu nggak? Kemarin Ichan mutusin ceweknya lantaran mau balik sama aku. Ya... aku tolak. Aku udah nggak suka sama dia. Tapi dia itu enak banget dimanfaatin buat jalan-jalan. Apalagi disuruh nraktir."

"Disuruh nraktir? Kok aku nggak pernah ditraktir sama Ikan sih?"

"Emang kamu mau jalan sama ikan lalu kelelep? Udah deh bercandanya!" sahut Lala ketus.

"Kamu nggak takut sama hukum karma? Seandainya suatu hari nanti takdir berbalik padamu."

"Sebenarnya yang salah ya mahluk itu. Kenapa dulu ada cowok yang mutusin aku? Padahal aku cinta sama dia. Bahkan, aku rela bersumpah tidak akan makan nasi sampai dia kembali padaku."

"Tapi Ichan bukan dia? Bahkan dia baik banget sama kamu. Ada pepatah yang mengatakan, jika ditampar pipi kanan berikanlah pipi kirimu."

"Jika ditampar terus, pipiku bisa hancur!"

"Ya, aku juga tahu. Maksudku, tak baik menyakiti hati orang terus menerus, apalagi sebagai pelampiasan dendam!" suaraku sudah mirip predator mau menerkam mangsa.

Lala hanya diam. Dia tertegun memandang mi di atas piring. Sesekali disuapkannya ke dalam mulut. Aku jadi paham kenapa selama ini Lala hanya makan roti dan mi.

Petualangan Lala dengan Fio tak berlangsung lama. Putus cinta akan membuat wanita menangis, tapi tidak untuk Lala. Selang tiga hari, dia sudah bercerita tentang Rio padaku. Orangnya baik, cakep, mirip Vannes F4. Dan segudang pujian udah aku dengar keluar dari bibir Lala. Gadis indo itu pun memutuskan untuk mengatakan cinta. Ada perasaan senang di hatiku. Bukan lantaran Lala mau jadi sama cowok itu, tapi Lala janji akan makan nasi jika jadian sama Rio. Semoga ini akhir dari penderitaannya.



Jam kuliah telah usai. Cepat-cepat kurapikan bukuku dan bergegas pulang.

"Gimana kabar semua, baik-baik saja kan?" aku menuju kamar dan mengganti pakaian. Lala mengikuti dari belakang kemudian duduk di sampingku.

"Ada apa La, kamu nangis?" Butiran-butiran bening mulai menghias pipinya.

"Ternyata Rio tak seperti yang kukira. Dia menolakku," isaknya semakin keras.

"Rio? Yang bener? Padahal hari ini aku pengin minta traktiran."

"Semua orang mengira begitu. Tidak hanya kamu, Ririn juga," sesekali ia menyeka air matanya, kuambil tisudi meja dan membantu menghabpus butir-butir itu.

"Kemarin aku meneleponnya. Aku bilang, aku suka dia. Tapi dia bilang... dia bilang dia tak bisa menerimaku."

"Kamu sudah jelasin, bahwa kamu bener-bener suka dia?"

"Udah, bahkan aku bilang, akan bunuh diri kalau dia menolakku. Tapi dia malah bilang, silakan aja kalau aku mau. Tapi, itu tak merubah keputusannya."

"Kamu suka cowok sejahat itu?"

"Tapi aku sayang sama dia," Lala tak berhenti menangis. Sesekali kuseka air matanya. Kurengkuh ia dalam pelukanku.

"Sudahlah... jangan nangis dong sayang. Lala cantik lho kalau senyum. Biar aku bantu kamu jelasin ke dia besok, oke."

"Percuma Pin, Rio udah berangkat ke Jogja."

"Terus?"

"Akan kucari dia sampai dapat. Suatu hari dia pasti menerimaku."

"Apa kamu gila? Bagaimana dengan kuliahmu? Kamu nggak akan keluar kan?"

"Aku rela ninggalin semua demi dia."

Suatu keputusan yang tak masuk akal bagiku. Aku berusaha menasehatinya, tapi sia-sia. Dua hari kemudian Lala berangkat ke Jogja. Berusaha meraih mimpi-mimpinya. Selamat tinggal La, semoga Tuhan menjagamu. Suatu hari kita pasti bertemu. Lagi. ***







0 komentar: