Saturday, March 02, 2013

Doa di Jakarta (W.S. Rendra)

Tuhan Yang Maha Esa
Alangkah tegangnya
Melihat hidup yang tergadai,
Pikiran yang dipabrikkan,
Dan masyarakat yang diternakkan.

Malam yang rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
Bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
Siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelaian dalam hidup sehari-hari
Telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan pepitih
Tak akan menyelesaikan masalah
Bagi hidup yang bosan,
Terpenjara, tanpa jenjela,

Tuhan yang maha Faham, alangkah tak masuk akal
Jarak selangkah
Yang berarti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
Yang memisahkan
Sebuah halaman bertanam tanaman hias
Dengan rumah-rumah tanpa sumur dan w.c.
Hati manusia telah menjadi baja.
Bagai dash-board yang tak acuh,
Panser yang angkuh,
Traktor yang dendam.

Tuhan yang maha rahman,
Ketika air mata menjadi gombal,
Dan kata-kata menjadi lumpur becek,
Aku menoleh ke utara dan ke selatan—
Di manakah kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk uang logam?
Di manakah catatan uang belanja harian?
Di manakah peradaban?

Ya, Tuhan yang maha hakim,
Harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sehat dan daya hidup
Menjadi penganganku yang nyata.





0 komentar: