Khabar itu terbawa angin sejuk yang berhembus di seluruh negeri. Negeri dipimpin sementara oleh pendamping Rentasan selama ini. Kehidupan negeri menjadi lucu sedikit, tetapi cukup baik untuk mengikis keistimewaan peran pemimpin negeri. Satu kute paling kecil lepas terpisah.
Rakyat di yang tiggal Utara bergembira, mereka mematok lahan-lahan Rentasan di utara. "Ini lahan kami sendiri !" Teriak mereka dengan ikat-ikat kepala merah. "Rentasan merampasnya dari kami empat windu lalu.
Padang penggembalaan Rentasan dicangkuli, ditanam umbi-umbian. Kebun kelapa, istana, taman peristirahatan, pemancingan, yang semuanya pernah dikuasai Rentasan luluh lantak. Dihantam pacul, ditebar biji-biji, umbi-umbi. Berhadapan dengan bugundal-begundal Rentasan.
Rakyat utara mengadakan ruwatan rakyat.
Panen yang hilang empat windu dirayakan. Tari tanggai, andai-andai gamalan. Musim kebebasan, musim kawin pula.Musim kawin bukan hanya milik manusia. Orang-orang tak bisa tidur bermalam-malam. Anjing-kucing bergelut ramai. Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Kegembiraan berlebih ini lama-lama,pelampiasan kekecewaan yang menumpuk dan terbakar selayaknya jerami kering di musim panas. Kegembiraan meluap keseluruh negeri. Padahal pertarungan baru usai, bertahun lamanya pertarungan Jelihim-Rentasan berlangsung. sejak perebutan dewan kute. Saat itu Bertebaran manusia-manusia yang mengaku berpihak kepada rakyat negeri. Pemilihan pengusa sementara berlangsung. Pemilihan ini sejujur-jujurnya bunyi mulut ke mulut. Dipantau oleh beragam kelompok pemantau yang berdiri sendiri. Rakyat di sibukkan dengan empat puluh delapan calon pengganti. Negeri disibukkan dengan pemilihan. Sekalipun banyak kelompok yang menolak pemilihan tanpa pemulihan terlebih dulu itu. Pemilihan berlangsung saja. Negeri berwarna-warna. Merah-kuning-hijau dibumi yang buram. Merah kain dan darah, api menyebar di beberapa titik. Hijau kain dan lumut di koreng-koreng memborok. Kuning di kain dan kotoran. Buram, semuanya buram, Semua disibukkan kekuasaan. Oh, betapa kebaikan itu setengah hati,..Serta warna-warna lain, apalah guna menyalahkan warna, apalah berkat menyalakan warna, apalah salah menggores warna....Dan terpilih seorang ratu yang dipercaya sebagai si Adil. Tapi kemudian yang menjadi pemimpin si segala tahu yang amat sakti. Ternyata peraturan pemilihan bukan memilih pemimpin, tetapi wakil rakyat kute. Merekalah yang mencarikan pemimpin negeri.
Jelihim masih saja, terduduk. Sang Kemare Redendam membawakan sajak-sajak bidadari. Jelihim rengko dalam. Tapi dia memandang awang-awang. Bidadarinya di atas langit. "Kutunggu sore nanti, ditelaga," Bisik Jelihim tersenyum. Betina tersipu di balik awan. Tubuh Rentasan masih berdiri mematung. Mati. Tidak jatuh. Kakinya tertancap ke tanah sepaha. Tubuh itu merunduk ke depan. Rambut seperti bujangan tak mandi semusim tugal. Awut-awutan, penuh debu. Jelihim ke arahnya, mencabut tubuh Rentasan, merebahkannya di tanah. Sungguh jika ada pilihan lain, tak akan dibunuhnya Rentasan, saudara kandungnya di alam lain. "Tak ada musuhmu yang manusia, wahai Anak Jelihim. Jelihim terngiang kata-kata Siamak. Orang tua yang menemukannya di atas bambu. "Lalu siapakah musuhku ?" Jelihim terngiang pertanyaannya ketika berlatih silat.Pikirannya. Musuhi pikirannya." Tegas pelan Siamak.
Jelihim masih terduduk. Mengasoh? Memikirkan apakah akan menguburkan Rentasan, atau dikirim ke kute Utara, Saja. Angin masih pelan, sisa-sisa peperangan terhampar di lapangan. Karang menjadi kawah. Ayam jago Rentasan diam tak bergerak. Bulu tercerabut di atas kepala. Jengger merah semakin merah. Merah pucat. Entah jago itu mati, atau pingsan. Diselubungi bulu bertebaran di tepi kawah. Kuduk Rentasan terlempar jauh di seberang kawah. Dari langit terbang lagi Sang Kemare, yang belum sampai ke langit. Ada yang datang, ke arah medan pertempuran. Jelihim sudah menangkap getaran itu. Tiga sosok berjalan gontai. Perempuan muda dan dua anak-anak. Jelihim melesat ke arah tiga bayangan itu. "Apakah yang membuat kalian tersesat ke kute mati ini." "Apakah Bapak kami masih hidup." Suara anak-anak mendahului perempuan itu. Tersadarlah, Jelihim bahwa ketiganya adalah istri sah Rentasan. "Bapak kalian telah mati,…" Ucap Jelihim pelan ke anak-anak dan perempuan muda. Jelihim menyesal tak mampu membahasakannya ke lain lebih halus. Ucapan itu tak sempat selesai, terpotong sesegukan ketiganya. Jelihim menunduk, melangkah membimbing ketiganya ke tubuh mati Rentasan. Makin keraslah sesegukan itu. "Tuan," Perempuan muda bersuara. Jelihim menoleh. Menatap wajah sedih perempuan di hadapannya. "Tuan bisakah kau hidupkan lagi suamiku. " Jelihim tak menjawab langsung. Pikirannya berputar pada rakyat di tujuh kute Utara. Kudeta dewan marga, empat windu yang lalu. Fitnah bertebaran terhadap dewan marga seiring kemarau panjang yang ditangkap orang-orang pintar sebagai isyarat bencana berkepanjangan. Aroma busuk fitnah bertebaran sejauh bunga ilalang terbang. Tumbuh berkembang di sembarang tempat. Didahului dengan tetua-tetua yang melihat bintang berekor jatuh. Keruntuhan penguasa yang dicintai rakyatnya tergambar di sana. Bangkai di sungai-sungai, manusia mati di hutan-hutan. Oalah, siapa yang membenarkan pembunuhan. Terlalu lama semua berjalan. Apakah salah memiliki dendam, Wahai Rentasan ? Adakah salah berpilih arif ? Perampok telah mati. Kekuasaan itu hancur luluh. Semua mungkin hancur, nol. "Tapi, mereka masih banyak ?" Pikir Jelihim. Tak Rentasan seorang.
"Tuan,..." Suara itu berulang lagi. "Maaf,... Aku tak mampu memberi hidup," Jelihim menolak. Sang Kemare melesat, membawa pesan dari langit "Jelihim, bukan kau penentu hidup-mati, tapi kau tak bisa beringkar janji." Jelihim tersedak. Malu, teguran dari langit tak mampu membuat lari. Lama Jelihim menentukan pilihan. Khabar bertebar secepat angin. Semua rakyat seluruh kute utara dan kute sempalan, pun telah hadir. Berbondong, beriringan. Membawa panji dan peringatan, tuntutan bahwa hukuman itu selayaknya bagi penjahat. Mereka berhadapan dengan sisa-sisa kekuatan Rentasan.Peperangan demi peperangan kecil terjadi, Kereta-kereta lembu. Lembu-lembu tanpa kereta. Orang-orang dengan buntalan bekal. Perempuan, pemuda, tetua, sesepuh, semuanya,..."Jangan hidupkan! Biarkan pengadilan rakyat!" Teriak mereka bersama. Semua merengsek ke arah mayat Rentasan. Jelihim menahan dengan sorot matanya. Rakyat seluruh kute mengepalkan tangan.Pembakaran sisa-sisa kayu di mana-mana. Dinding batu penuh coretan. "Hancurkan Rentasan!" Teriak mereka lagi.Orang-orang berikat kepala. Orang-orang berkerudung putih. Orang-orang membawa pacul, membawa palu, membawa arit. Orang-orang membawa kitab suci. Istri dan anak Rentasan di seret-seret. Jelihim mengamankan jika berlebihan. Jelihim tak kunjung memberi keputusan terakhir. Mayat Rentasan di situ saja. Tak bergerak barang segerak. Rambutnya menjuntai memanjang. Tak ada yang berubah selain rambut. Tak juga membusuk. Mereka menungu bermusim-musim. Arena pertemuan berlumut, memecah, basah, kerontang. Orang-orang berjanggut-janggut, kulit muka berkerak-kerak,...Oh betapa lama penantian. Jelihim menoleh menebarkan pendangannya, semua membalas dalam ketaksabaran. "Aku tak boleh membunhnya, tidak juga kita. Sebenarnya dia hanya>matiAku hanya berhak mematikannya sementara. Tapi sesuai janji, bahwa dia akan hidup lagi. Hanya kita harus memberikan hukuman penyadaran untuknya. Terserah ke langit menuntun apakah dia akan kembali sadar. Tak harus dia mati, tapi cukup tanda kekalahan. Tanah-tanah di kute kalian, berbagilah dengan adil. Karena tanah, sawah, hutan dan bukit-bukit sesungguhnya milik kalian bersama. Jelihim mengabarkan pesan dari langit ketika dia meminta izin mematikan Rentasan. Maka Jelihim menggunting rambut Rentasan tiga juhai, tiga jalur. Jelihim memoles kulit kepala tersebut dengan ramuan sakti.Meresap ke akar rambut, mematikan rambut di tiga jalur itu. Sebagai tanda kekalahan.Jelihim memetik tiga helai daun selasih ulung membacakan ucap-ucap Selasih ulung untuk ujung jari telunjuk Rentasan di buluh mike (tanah tumbuh), "Hak hu meriang merindu ati, tidur tiade hede lagi, makan tiade kenyang lagi, mikirka adingku Rentasan si jantung ati," Artinya kira-kira, Hak hu meriang merindu hati, tidur tiada redah lagi, makan tiada kenyang lagi. Mikirkan adikku Rentasan si Jantung Hati. Orang-orang menunggu dengan tidak sabar. Orang-orang menanti tidak puas. Mahluk di bumi menunggu kesangsian. Rentasan dengan lemah bangkit. Orang-orang menjauh dengan rupa beragam macam.
Rakyat di yang tiggal Utara bergembira, mereka mematok lahan-lahan Rentasan di utara. "Ini lahan kami sendiri !" Teriak mereka dengan ikat-ikat kepala merah. "Rentasan merampasnya dari kami empat windu lalu.
Padang penggembalaan Rentasan dicangkuli, ditanam umbi-umbian. Kebun kelapa, istana, taman peristirahatan, pemancingan, yang semuanya pernah dikuasai Rentasan luluh lantak. Dihantam pacul, ditebar biji-biji, umbi-umbi. Berhadapan dengan bugundal-begundal Rentasan.
Rakyat utara mengadakan ruwatan rakyat.
Panen yang hilang empat windu dirayakan. Tari tanggai, andai-andai gamalan. Musim kebebasan, musim kawin pula.Musim kawin bukan hanya milik manusia. Orang-orang tak bisa tidur bermalam-malam. Anjing-kucing bergelut ramai. Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Kegembiraan berlebih ini lama-lama,pelampiasan kekecewaan yang menumpuk dan terbakar selayaknya jerami kering di musim panas. Kegembiraan meluap keseluruh negeri. Padahal pertarungan baru usai, bertahun lamanya pertarungan Jelihim-Rentasan berlangsung. sejak perebutan dewan kute. Saat itu Bertebaran manusia-manusia yang mengaku berpihak kepada rakyat negeri. Pemilihan pengusa sementara berlangsung. Pemilihan ini sejujur-jujurnya bunyi mulut ke mulut. Dipantau oleh beragam kelompok pemantau yang berdiri sendiri. Rakyat di sibukkan dengan empat puluh delapan calon pengganti. Negeri disibukkan dengan pemilihan. Sekalipun banyak kelompok yang menolak pemilihan tanpa pemulihan terlebih dulu itu. Pemilihan berlangsung saja. Negeri berwarna-warna. Merah-kuning-hijau dibumi yang buram. Merah kain dan darah, api menyebar di beberapa titik. Hijau kain dan lumut di koreng-koreng memborok. Kuning di kain dan kotoran. Buram, semuanya buram, Semua disibukkan kekuasaan. Oh, betapa kebaikan itu setengah hati,..Serta warna-warna lain, apalah guna menyalahkan warna, apalah berkat menyalakan warna, apalah salah menggores warna....Dan terpilih seorang ratu yang dipercaya sebagai si Adil. Tapi kemudian yang menjadi pemimpin si segala tahu yang amat sakti. Ternyata peraturan pemilihan bukan memilih pemimpin, tetapi wakil rakyat kute. Merekalah yang mencarikan pemimpin negeri.
Jelihim masih saja, terduduk. Sang Kemare Redendam membawakan sajak-sajak bidadari. Jelihim rengko dalam. Tapi dia memandang awang-awang. Bidadarinya di atas langit. "Kutunggu sore nanti, ditelaga," Bisik Jelihim tersenyum. Betina tersipu di balik awan. Tubuh Rentasan masih berdiri mematung. Mati. Tidak jatuh. Kakinya tertancap ke tanah sepaha. Tubuh itu merunduk ke depan. Rambut seperti bujangan tak mandi semusim tugal. Awut-awutan, penuh debu. Jelihim ke arahnya, mencabut tubuh Rentasan, merebahkannya di tanah. Sungguh jika ada pilihan lain, tak akan dibunuhnya Rentasan, saudara kandungnya di alam lain. "Tak ada musuhmu yang manusia, wahai Anak Jelihim. Jelihim terngiang kata-kata Siamak. Orang tua yang menemukannya di atas bambu. "Lalu siapakah musuhku ?" Jelihim terngiang pertanyaannya ketika berlatih silat.Pikirannya. Musuhi pikirannya." Tegas pelan Siamak.
Jelihim masih terduduk. Mengasoh? Memikirkan apakah akan menguburkan Rentasan, atau dikirim ke kute Utara, Saja. Angin masih pelan, sisa-sisa peperangan terhampar di lapangan. Karang menjadi kawah. Ayam jago Rentasan diam tak bergerak. Bulu tercerabut di atas kepala. Jengger merah semakin merah. Merah pucat. Entah jago itu mati, atau pingsan. Diselubungi bulu bertebaran di tepi kawah. Kuduk Rentasan terlempar jauh di seberang kawah. Dari langit terbang lagi Sang Kemare, yang belum sampai ke langit. Ada yang datang, ke arah medan pertempuran. Jelihim sudah menangkap getaran itu. Tiga sosok berjalan gontai. Perempuan muda dan dua anak-anak. Jelihim melesat ke arah tiga bayangan itu. "Apakah yang membuat kalian tersesat ke kute mati ini." "Apakah Bapak kami masih hidup." Suara anak-anak mendahului perempuan itu. Tersadarlah, Jelihim bahwa ketiganya adalah istri sah Rentasan. "Bapak kalian telah mati,…" Ucap Jelihim pelan ke anak-anak dan perempuan muda. Jelihim menyesal tak mampu membahasakannya ke lain lebih halus. Ucapan itu tak sempat selesai, terpotong sesegukan ketiganya. Jelihim menunduk, melangkah membimbing ketiganya ke tubuh mati Rentasan. Makin keraslah sesegukan itu. "Tuan," Perempuan muda bersuara. Jelihim menoleh. Menatap wajah sedih perempuan di hadapannya. "Tuan bisakah kau hidupkan lagi suamiku. " Jelihim tak menjawab langsung. Pikirannya berputar pada rakyat di tujuh kute Utara. Kudeta dewan marga, empat windu yang lalu. Fitnah bertebaran terhadap dewan marga seiring kemarau panjang yang ditangkap orang-orang pintar sebagai isyarat bencana berkepanjangan. Aroma busuk fitnah bertebaran sejauh bunga ilalang terbang. Tumbuh berkembang di sembarang tempat. Didahului dengan tetua-tetua yang melihat bintang berekor jatuh. Keruntuhan penguasa yang dicintai rakyatnya tergambar di sana. Bangkai di sungai-sungai, manusia mati di hutan-hutan. Oalah, siapa yang membenarkan pembunuhan. Terlalu lama semua berjalan. Apakah salah memiliki dendam, Wahai Rentasan ? Adakah salah berpilih arif ? Perampok telah mati. Kekuasaan itu hancur luluh. Semua mungkin hancur, nol. "Tapi, mereka masih banyak ?" Pikir Jelihim. Tak Rentasan seorang.
"Tuan,..." Suara itu berulang lagi. "Maaf,... Aku tak mampu memberi hidup," Jelihim menolak. Sang Kemare melesat, membawa pesan dari langit "Jelihim, bukan kau penentu hidup-mati, tapi kau tak bisa beringkar janji." Jelihim tersedak. Malu, teguran dari langit tak mampu membuat lari. Lama Jelihim menentukan pilihan. Khabar bertebar secepat angin. Semua rakyat seluruh kute utara dan kute sempalan, pun telah hadir. Berbondong, beriringan. Membawa panji dan peringatan, tuntutan bahwa hukuman itu selayaknya bagi penjahat. Mereka berhadapan dengan sisa-sisa kekuatan Rentasan.Peperangan demi peperangan kecil terjadi, Kereta-kereta lembu. Lembu-lembu tanpa kereta. Orang-orang dengan buntalan bekal. Perempuan, pemuda, tetua, sesepuh, semuanya,..."Jangan hidupkan! Biarkan pengadilan rakyat!" Teriak mereka bersama. Semua merengsek ke arah mayat Rentasan. Jelihim menahan dengan sorot matanya. Rakyat seluruh kute mengepalkan tangan.Pembakaran sisa-sisa kayu di mana-mana. Dinding batu penuh coretan. "Hancurkan Rentasan!" Teriak mereka lagi.Orang-orang berikat kepala. Orang-orang berkerudung putih. Orang-orang membawa pacul, membawa palu, membawa arit. Orang-orang membawa kitab suci. Istri dan anak Rentasan di seret-seret. Jelihim mengamankan jika berlebihan. Jelihim tak kunjung memberi keputusan terakhir. Mayat Rentasan di situ saja. Tak bergerak barang segerak. Rambutnya menjuntai memanjang. Tak ada yang berubah selain rambut. Tak juga membusuk. Mereka menungu bermusim-musim. Arena pertemuan berlumut, memecah, basah, kerontang. Orang-orang berjanggut-janggut, kulit muka berkerak-kerak,...Oh betapa lama penantian. Jelihim menoleh menebarkan pendangannya, semua membalas dalam ketaksabaran. "Aku tak boleh membunhnya, tidak juga kita. Sebenarnya dia hanya>matiAku hanya berhak mematikannya sementara. Tapi sesuai janji, bahwa dia akan hidup lagi. Hanya kita harus memberikan hukuman penyadaran untuknya. Terserah ke langit menuntun apakah dia akan kembali sadar. Tak harus dia mati, tapi cukup tanda kekalahan. Tanah-tanah di kute kalian, berbagilah dengan adil. Karena tanah, sawah, hutan dan bukit-bukit sesungguhnya milik kalian bersama. Jelihim mengabarkan pesan dari langit ketika dia meminta izin mematikan Rentasan. Maka Jelihim menggunting rambut Rentasan tiga juhai, tiga jalur. Jelihim memoles kulit kepala tersebut dengan ramuan sakti.Meresap ke akar rambut, mematikan rambut di tiga jalur itu. Sebagai tanda kekalahan.Jelihim memetik tiga helai daun selasih ulung membacakan ucap-ucap Selasih ulung untuk ujung jari telunjuk Rentasan di buluh mike (tanah tumbuh), "Hak hu meriang merindu ati, tidur tiade hede lagi, makan tiade kenyang lagi, mikirka adingku Rentasan si jantung ati," Artinya kira-kira, Hak hu meriang merindu hati, tidur tiada redah lagi, makan tiada kenyang lagi. Mikirkan adikku Rentasan si Jantung Hati. Orang-orang menunggu dengan tidak sabar. Orang-orang menanti tidak puas. Mahluk di bumi menunggu kesangsian. Rentasan dengan lemah bangkit. Orang-orang menjauh dengan rupa beragam macam.
0 komentar:
Post a Comment