Baru tiba di gerbang langit Jelihim
dikepung sepuluh penjaga langit, "Anak manusia! Tak layak sungguh Engkau
menjajakkan kaki ke sini!"
"Maaf, tolong pertemukan aku dengan
aku dengan para dewa."
"Engkau pikir siapalah dirimu?!
Sukarkah bagi engkau memandang diri sendiri?!" Pemimpin pasukan
mentertawakan.
"Sudahlah, tak usah berpanjang ulur,
ada persoalan penting langit dan muka bumi yang harus dibicarakan."
"Ha, ha,
ha,… persoalan langit dan bumi katamu. Melucu, kan? Apalah soal sedemikian
hingga Engkau berani ke sini?!"
Jelihim naik
pitam. "Jadi apalah kerja kalian hingga tak tahu isi dunia. Berjaga dan
berpesta di sini saja tah?" Oh begitu panas hawa langit, matahari tak
menjauh, duhai mengapa Jelihim tiba-tiba beringas,...Sudahlah, ini mendesak
nian. Pertemukanlah aku segera. Aku punya indok dan Rame dewa di sini?!
Pengawal langit beringas bengis
"Segumpal daging hina dina, tak kau pandang muka dahulu menerobos kemari?!
Pulanglah Engkau!" Tubuh Jelihim terdorong ke arah megag-megag.
Jelihim memaki lagit yang bisu dan tuli
terhadap masalah dunia dan isinya. Naik pitam. Sepuluh pengawal mengepungnya.
Sepuluh bola api menyambarnya. Entah kekuatan apa mebuat Jelihim begitu berani.
Apatah ini karena Jelihim direndam Guru Belang kaki
belasan purnama di Padang Datar. Bola api terarah ke Jelihim. Dan anak manusia
itu menangkapnya saja. Jelihim bersedekap. Uap air mengepul di sekujur Jelihim.
Sebegitu kuat hawa dingin Jelihim menjadi uap. Api mengembun.
Bola api bertambah-tambah.
Tubuh Jelihim
bergeletar. Sosok itu kemudian mencelat-celat. Dengan gerak tangannya api
dipelintir dan dikumpulkan di tangan. Di telapak Jelihim api terkumpul sebesar
anak sapi memadat beku dingin. Sebagian memadat lekas mnyublim. Dilemparkan kembali ke
tubuh sepuluh pengawal. Pengawal sibuk
menghindar-hindar. Oh, betapa es itu seolah digerakkan. Kemanapun mereka
mencelat mengikuti. Sampai kemudian habis menguap.
Tak urung Pengawal mengatur stretegi baru.
Sepuluh tombak perang mencelat berseliweran di muka hidung Jelihim. Tidak tepat
dan kembali ke tangan pemilik. Tapi serangan tak berhenti. Serang, kembali,
serang, kembali, serang begitu saja. Jelihim menghantamnya dengan uap panas
dari perut. Gagang tombak terbakar hangus menjadi abu.
Tak urung mata tombak dari besi langit yang
tak termakan api menyerang ke arah tubuh Jelihim. Tubuhnya ditaburi keringat
dingin. Mata tombak mengarah ke titik-titik saraf anak manusia itu. Jelihim
menggasingkan tubuhnya. Jubah belacunya menjadi perisai.
"Kurang ajar kalian!"
Belacu Jelihim tersobek-sobek.
Jelihim meningkatkan tenaganya." Anak Manusia gonggongan harimau ini menaburkan racun. Ya Serabit,
apakah mahluk langit teracun bisa.
Lmega Jelihim
terdesak. Jelihim terseok. Tak habis pikir dengan kekuatan sendiri. Dari Kute
Mati terlihat kilat menyambar-nyambar diselingi guruh besar.
Ratusan
pengawal bermunculan. Tubuh manusia itu terkepung. Jelihim memaki kesombongan
langit. Darahnya mengelagak. Jelihim meningkatkan lagi kekuatannya. Tubuhnya
memerah. Mencelat-celat menghindari larik-larik sinar anak panah. Sepuluh sabuk
serupa baja, menyerangnya. Jelihim terpukul mundur. Sembilan sabuk menghantam
dadanya. Jelihim terlempar ke mega.
Tubuhnya
menyelinap di mega-mega. Anak petir menyusul menyambar Jelihim. Susah payah
Jelihim mengumpulkan mega. Pertempuran terus berlangsung di bumi. Tak
henti-henti. Pecundang-pecundang bumi memanfaatkan untuk menghimpun kekuatan di
luar pertempuran. Pemangku-pemangku segala, menyerukan ketentraman. Apalah
jadi, keadaan memaksa meninggalkan semua pertimbangan para pemangku. Yang lain berperang
untuk pengakuan kedaulatan. Bahwa manusia lahir dengan sifat mulia, yang
dipaksakan untuk hangus.
Mega membeku di kepalan Jelihim. Pengendara
mega di belakang Jelihim. Petir menyambar diatas
kepalanya. Jelihim melesat menangkap ekor petir. Bersekutu dengan para
pengendara petir. Memanggil pengendara-pengendara angin, badai, topan, yang
selama ini menjadi boneka-boneka langit.
Mereka melesat
ke pendopo langit. Para pejaga lagit mengangkang menghadapi. Berkumpul di satu
sudut langit. Perisai kaca dan pentungan baja yang dipanggang di matahari.
Dibawah satu seruan Jelihim, mereka mendesak di dua Sayap. Pertempuran besar
tak terelakkan. Jelihim merengsek ke dalam. Uap panas mengumpul di perut
jelihim. Uap
dingin di dada naik melesak. Dua belah tangan Jelihim di satukan. Jelihim
memusatkan serangan ke satu kaki langit.
Tak ada yang dapat memastikan apakah
kekuatan itu berupa padatan atau bukan. Kekuatan itu melesat. Ratusan penjaga
langit menghindari angin panas dingin itu. Hawa berputar-putar. Ratusan tubuh
mencelat menghindar menjauh. Kekuatan itu terus menghantam, ke kaki langit.
"BLARRRRRRRR!"
Langit geger termiring ke sudut-sudut bumi.
Patah, jatuh dan Hilang kaki langit. Melesat ke dalaman samudera di bumi.
Pengawal langit mencak-mencak. Dewa-dewa keluar istana. Mencari-cari sumber kejadian.
Dewa Perang
Langit paling duluan tiba. Tidurnya terganggu. Selama ini dia berkuasa dengan
tenang dengan dua kekuasaan.
Melihat siapa
pengacau, Dia mencabut tombak perangnya. "Kurang ajar, kuhancurkan
tempurung kepalamu pengacau ketentraman langit!"
Tombak perang melesat ke arah Jelihim.
"Tak ada pilihan kecuali mati di sambarnyawe-ku ini.Akhirnya kau makan
lagi, Tombak Sambarnyawe, ha ha ha,... Matilah!"
"Tahan!" Teriak Jelihim melihat
pendatang baru itu.
Jelihim sempat mengelak. Tak urung mukanya
tergores sinar tombak, tak berdarah lagi. Goresan itu gosong.
Yang disergah mendelik tajam. "Siapa
Engkau, hai bocah pengganggu. Tak urung Dewa Perang terkesiap melihat ada anak
manusia yang mampu menghindari serangannya. "Siapa pun engkau tak tak ada
hidup untuk perusak kaki langit."
"Aku Jelihim. Karena kalian tak segan
merusak bumi, maka aku merasa tak bersalah merusak langit. Dan Bukan salahku
karena sambutan langit teramat sombong!" Balas Jelihim tegas.
"Guntur, bayu, bianglala, mega, dan semuanya di sini yang bukan penghuni
kerajaan langit. Kita saksikan bersama betapa sombongnya sambutan langit
ketika ada permasalahan di bumi!"
"Banyak cakap!" Maki Dewa Perang
Langit.
"Bebal! Tongop!" Jelihim
menggeradak.
Dewa Perang menghunuskan tombaknya. Jelihim
menghindar ke sudut langit lain, berbaling di tiang-tiang langit. Matanya
merah. Memaki-maki dalam hati. Di tengah kancah, bayu, guntur, awaan,
bainglala, bertempur sebentar dengan pasukan penjaga langit. Lalu satu persatu pergi ke megag-megag. Dunia batas bumi dan langit. Ooo,
Jelihim seorangan.
Bola api
berpendar-pendar. Bunga api memercik-mercik. Hawa nafsu menari-nari.
***
Masih terasa
getaran itu dari megag-megag. Dentuman di Bumi dan di langit menggetarkan.
Bayu, Guntur, Bianglala, mega berhenti melayang. "Kita kemana?"
"Menjauhi
semuanya."
"Ya."
"Tapi
mengapa?"
"Mengapa
bagaimana?"
"Mengapa
harus lari?"
"Keributan
itu adalah persoalan langit dan bumi."
"Lupakah
kita, bahwa kita diantaranya."
"Satu
hancur, semua juga tak akan benar."
"Jadi?"
"Kita
bantu Jelihim."
"Ke langit
lagi?"
"Tak
harus. Mega dan bianglala ke Kute Mati. Coba kalian redamkan pertempuran dengan
perubahan cuaca."
"Tapi itu
penipuan. Kau pikir perang itu cukup pada Jelihim saja?"
"Baiklah.
Kita ikut berperang, kita biarkan semuanya berperang."
"Sampai kebenaran itu datang."
Mereka melesat ke arah berlawanan.
***
Benturan antara tenaga Jelihim dan Tombak
Sambar Nyawe Dewa Perang Langit semakin dahyat. Keduanya basah berpeluh.
Berisan-barisan penjaga langit mengepung keduanya berkeliling.
"Jelihim, kami datang!" Teriak
Guntur dan Bayu. Jelihim hanya sempat menoleh sekilas. Ujung landap Sambar
Nyawe hampir saja membakar tubuhnya. Dua sosok kawannya pun langsung terkurung
barisan yang memecah.
"Apa yang kalian bela?!" Teriak Jelihim di sela seliweran serangan.
"Yang
Kalah, ha ha ha,..."
Tak urung Jelihim turut terbahak, sambil
melihat ke atas. Tak mau tawanya menghadap langit. Dewa aperang semakin
beringas. Nafsunya memburu, marah. Dan tak habis pikir.
"Semuanya berhenti!" Terdengar
seruan pelan. Semua menghentikan gerakan. Tak urung membuat Jelihim terheran.
"Suara siapa gerangan, sebegitu mempengaruhi mahluk-mahluk bebal
ini?"
"Hormat
Raja Langit." Suara Dewa Perang Langit. Dan semua pasukan penjaga langit
bersuara serupa serempak. "Hormat Raja Langit."
"Hentikan
persengketaan ini, aku ingin berbicara dengan anak manusia ini." Raja
langit itu melambaikan tangan ke Jelihim. Dan Jelihim dengan setengah sadar
menuju dia.
"Mengapa
sampai kau ke sini?"
"Sebelumnya,
maaf. Benarkah engkau Raja Langit, Bapak?"
Dia menangguk.
"Lalu gerangan
mengapa sampai tak tau permasalahan di bumi yang akan kukhabarkan ke
sini?" Jelihim bertanya heran, sambil menghapus peluh dengan lengan baju
belacunya.
"Ha ha
ha,...baik kalau kau ingin bertemu dengan indok-ramemu di aras.
Kupersilahkan Engkau. Carilah. Tapi apakah kau tahu siapa mereka?"
"Engkau
yang tahu, Bapak. Maka engkau pula yang menunjukkan."
0 komentar:
Post a Comment