Wednesday, April 24, 2013

(8) Patah-hilang Kaki Langit Syam Asinar Radjam


Baru tiba di gerbang langit Jelihim dikepung sepuluh penjaga langit, "Anak manusia! Tak layak sungguh Engkau menjajakkan kaki ke sini!"
"Maaf, tolong pertemukan aku dengan aku dengan para dewa."
"Engkau pikir siapalah dirimu?! Sukarkah bagi engkau memandang diri sendiri?!" Pemimpin pasukan mentertawakan.
"Sudahlah, tak usah berpanjang ulur, ada persoalan penting langit dan muka bumi yang harus dibicarakan."
"Ha, ha, ha,… persoalan langit dan bumi katamu. Melucu, kan? Apalah soal sedemikian hingga Engkau berani ke sini?!"
Jelihim naik pitam. "Jadi apalah kerja kalian hingga tak tahu isi dunia. Berjaga dan berpesta di sini saja tah?" Oh begitu panas hawa langit, matahari tak menjauh, duhai mengapa Jelihim tiba-tiba beringas,...Sudahlah, ini mendesak nian. Pertemukanlah aku segera. Aku punya indok dan Rame dewa di sini?!
Pengawal langit beringas bengis "Segumpal daging hina dina, tak kau pandang muka dahulu menerobos kemari?! Pulanglah Engkau!" Tubuh Jelihim terdorong ke arah megag-megag.
Jelihim memaki lagit yang bisu dan tuli terhadap masalah dunia dan isinya. Naik pitam. Sepuluh pengawal mengepungnya. Sepuluh bola api menyambarnya. Entah kekuatan apa mebuat Jelihim begitu berani. Apatah ini karena Jelihim direndam Guru Belang kaki belasan purnama di Padang Datar. Bola api terarah ke Jelihim. Dan anak manusia itu menangkapnya saja. Jelihim bersedekap. Uap air mengepul di sekujur Jelihim. Sebegitu kuat hawa dingin Jelihim menjadi uap. Api mengembun.
Bola api bertambah-tambah.
Tubuh Jelihim bergeletar. Sosok itu kemudian mencelat-celat. Dengan gerak tangannya api dipelintir dan dikumpulkan di tangan. Di telapak Jelihim api terkumpul sebesar anak sapi memadat beku dingin. Sebagian memadat lekas mnyublim. Dilemparkan kembali ke tubuh sepuluh pengawal. Pengawal sibuk menghindar-hindar. Oh, betapa es itu seolah digerakkan. Kemanapun mereka mencelat mengikuti. Sampai kemudian habis menguap.
Tak urung Pengawal mengatur stretegi baru. Sepuluh tombak perang mencelat berseliweran di muka hidung Jelihim. Tidak tepat dan kembali ke tangan pemilik. Tapi serangan tak berhenti. Serang, kembali, serang, kembali, serang begitu saja. Jelihim menghantamnya dengan uap panas dari perut. Gagang tombak terbakar hangus menjadi abu.
Tak urung mata tombak dari besi langit yang tak termakan api menyerang ke arah tubuh Jelihim. Tubuhnya ditaburi keringat dingin. Mata tombak mengarah ke titik-titik saraf anak manusia itu. Jelihim menggasingkan tubuhnya. Jubah belacunya menjadi perisai.
"Kurang ajar kalian!"
Belacu Jelihim tersobek-sobek.
Jelihim meningkatkan tenaganya." Anak Manusia gonggongan harimau ini menaburkan racun. Ya Serabit, apakah mahluk langit teracun bisa.
Lmega Jelihim terdesak. Jelihim terseok. Tak habis pikir dengan kekuatan sendiri. Dari Kute Mati terlihat kilat menyambar-nyambar diselingi guruh besar.
Ratusan pengawal bermunculan. Tubuh manusia itu terkepung. Jelihim memaki kesombongan langit. Darahnya mengelagak. Jelihim meningkatkan lagi kekuatannya. Tubuhnya memerah. Mencelat-celat menghindari larik-larik sinar anak panah. Sepuluh sabuk serupa baja, menyerangnya. Jelihim terpukul mundur. Sembilan sabuk menghantam dadanya. Jelihim terlempar ke mega.
Tubuhnya menyelinap di mega-mega. Anak petir menyusul menyambar Jelihim. Susah payah Jelihim mengumpulkan mega. Pertempuran terus berlangsung di bumi. Tak henti-henti. Pecundang-pecundang bumi memanfaatkan untuk menghimpun kekuatan di luar pertempuran. Pemangku-pemangku segala, menyerukan ketentraman. Apalah jadi, keadaan memaksa meninggalkan semua pertimbangan para pemangku. Yang lain berperang untuk pengakuan kedaulatan. Bahwa manusia lahir dengan sifat mulia, yang dipaksakan untuk hangus.
Mega membeku di kepalan Jelihim. Pengendara mega di belakang Jelihim. Petir menyambar diatas kepalanya. Jelihim melesat menangkap ekor petir. Bersekutu dengan para pengendara petir. Memanggil pengendara-pengendara angin, badai, topan, yang selama ini menjadi boneka-boneka langit.
Mereka melesat ke pendopo langit. Para pejaga lagit mengangkang menghadapi. Berkumpul di satu sudut langit. Perisai kaca dan pentungan baja yang dipanggang di matahari. Dibawah satu seruan Jelihim, mereka mendesak di dua Sayap. Pertempuran besar tak terelakkan. Jelihim merengsek ke dalam. Uap panas mengumpul di perut jelihim. Uap dingin di dada naik melesak. Dua belah tangan Jelihim di satukan. Jelihim memusatkan serangan ke satu kaki langit.
Tak ada yang dapat memastikan apakah kekuatan itu berupa padatan atau bukan. Kekuatan itu melesat. Ratusan penjaga langit menghindari angin panas dingin itu. Hawa berputar-putar. Ratusan tubuh mencelat menghindar menjauh. Kekuatan itu terus menghantam, ke kaki langit.
"BLARRRRRRRR!"
Langit geger termiring ke sudut-sudut bumi. Patah, jatuh dan Hilang kaki langit. Melesat ke dalaman samudera di bumi. Pengawal langit mencak-mencak. Dewa-dewa keluar istana. Mencari-cari sumber kejadian.
Dewa Perang Langit paling duluan tiba. Tidurnya terganggu. Selama ini dia berkuasa dengan tenang dengan dua kekuasaan.
Melihat siapa pengacau, Dia mencabut tombak perangnya. "Kurang ajar, kuhancurkan tempurung kepalamu pengacau ketentraman langit!"
Tombak perang melesat ke arah Jelihim. "Tak ada pilihan kecuali mati di sambarnyawe-ku ini.Akhirnya kau makan lagi, Tombak Sambarnyawe, ha ha ha,... Matilah!"
"Tahan!" Teriak Jelihim melihat pendatang baru itu.
Jelihim sempat mengelak. Tak urung mukanya tergores sinar tombak, tak berdarah lagi. Goresan itu gosong.
Yang disergah mendelik tajam. "Siapa Engkau, hai bocah pengganggu. Tak urung Dewa Perang terkesiap melihat ada anak manusia yang mampu menghindari serangannya. "Siapa pun engkau tak tak ada hidup untuk perusak kaki langit."
"Aku Jelihim. Karena kalian tak segan merusak bumi, maka aku merasa tak bersalah merusak langit. Dan Bukan salahku karena sambutan langit teramat sombong!" Balas Jelihim tegas. "Guntur, bayu, bianglala, mega, dan semuanya di sini yang bukan penghuni kerajaan langit. Kita saksikan bersama betapa sombongnya sambutan langit ketika ada permasalahan di bumi!"
"Banyak cakap!" Maki Dewa Perang Langit.
"Bebal! Tongop!" Jelihim menggeradak.
Dewa Perang menghunuskan tombaknya. Jelihim menghindar ke sudut langit lain, berbaling di tiang-tiang langit. Matanya merah. Memaki-maki dalam hati. Di tengah kancah, bayu, guntur, awaan, bainglala, bertempur sebentar dengan pasukan penjaga langit. Lalu satu persatu pergi ke megag-megag. Dunia batas bumi dan langit. Ooo, Jelihim seorangan.
Bola api berpendar-pendar. Bunga api memercik-mercik. Hawa nafsu menari-nari.
***
Masih terasa getaran itu dari megag-megag. Dentuman di Bumi dan di langit menggetarkan. Bayu, Guntur, Bianglala, mega berhenti melayang. "Kita kemana?"
"Menjauhi semuanya."
"Ya."
"Tapi mengapa?"
"Mengapa bagaimana?"
"Mengapa harus lari?"
"Keributan itu adalah persoalan langit dan bumi."
"Lupakah kita, bahwa kita diantaranya."
"Satu hancur, semua juga tak akan benar."
"Jadi?"
"Kita bantu Jelihim."
"Ke langit lagi?"
"Tak harus. Mega dan bianglala ke Kute Mati. Coba kalian redamkan pertempuran dengan perubahan cuaca."
"Tapi itu penipuan. Kau pikir perang itu cukup pada Jelihim saja?"
"Baiklah. Kita ikut berperang, kita biarkan semuanya berperang."
"Sampai kebenaran itu datang."
Mereka melesat ke arah berlawanan.
***
Benturan antara tenaga Jelihim dan Tombak Sambar Nyawe Dewa Perang Langit semakin dahyat. Keduanya basah berpeluh. Berisan-barisan penjaga langit mengepung keduanya berkeliling.
"Jelihim, kami datang!" Teriak Guntur dan Bayu. Jelihim hanya sempat menoleh sekilas. Ujung landap Sambar Nyawe hampir saja membakar tubuhnya. Dua sosok kawannya pun langsung terkurung barisan yang memecah.
"Apa yang kalian bela?!" Teriak Jelihim di sela seliweran serangan.
"Yang Kalah, ha ha ha,..."
Tak urung Jelihim turut terbahak, sambil melihat ke atas. Tak mau tawanya menghadap langit. Dewa aperang semakin beringas. Nafsunya memburu, marah. Dan tak habis pikir.
"Semuanya berhenti!" Terdengar seruan pelan. Semua menghentikan gerakan. Tak urung membuat Jelihim terheran. "Suara siapa gerangan, sebegitu mempengaruhi mahluk-mahluk bebal ini?"
"Hormat Raja Langit." Suara Dewa Perang Langit. Dan semua pasukan penjaga langit bersuara serupa serempak. "Hormat Raja Langit."
"Hentikan persengketaan ini, aku ingin berbicara dengan anak manusia ini." Raja langit itu melambaikan tangan ke Jelihim. Dan Jelihim dengan setengah sadar menuju dia.
"Mengapa sampai kau ke sini?"
"Sebelumnya, maaf. Benarkah engkau Raja Langit, Bapak?"
Dia menangguk.
"Lalu gerangan mengapa sampai tak tau permasalahan di bumi yang akan kukhabarkan ke sini?" Jelihim bertanya heran, sambil menghapus peluh dengan lengan baju belacunya.
"Ha ha ha,...baik kalau kau ingin bertemu dengan indok-ramemu di aras. Kupersilahkan Engkau. Carilah. Tapi apakah kau tahu siapa mereka?"
"Engkau yang tahu, Bapak. Maka engkau pula yang menunjukkan."

0 komentar: